NTTsatu.com – JAKARTA – Petrus Salestinus selaku Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI menyatakan, Penyidik Polda NTT memaksa terjadinya Peradilan sesat.
Melalui rilisnya yang diterima media ini, Minggu, 18 Maret 2018, Salestinus yang juga pengacara Peradi ini memberikan pendapat terkait dengan perkara praperadilan yang diajukan Frans Oan Semewa (FOS) melawan Direktur Reserse Kriminal Polda NTT di Pengadilan Negeri Kupang.
Diketahui, Praperadilan tersebut mempersoalkan penetapan tersangka terhadap FOS. Kuasa hukum FOS menilai penetapan tersangka tersebut melanggar ketentuan pasal 79 KUHP tentang daluwarsa tindak pidana.
Menurut Petrus Selestinus, ketentuan mengenai daluwarsa suatu tindak pidana sudah sangat jelas diatur di dalam KUHP.
“Ketentuan pasal 79 KUHP sudah sangat jelas yaitu bahwa tenggang waktu untuk menghitung mulainya daluwarsa berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan bukan pada hari diketahuinya adanya peristiwa pidana,” kata Petrus.
Petrus menegaskan, penafsiran terhadap pasal 78 tersebut tidak boleh berdiri sendiri demi mendapatkan pemahaman yang utuh.
“Karena itu membaca ketentuan pasal 79 KUHP tidak boleh berdiri sendiri tetapi juga harus membaca juga ketentuan pasal 178 KUHP dimana secara gamblang dan limitatif KUHP menegaskan kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Kewenangan menuntut hapus disini adalah kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim,” jelas Advokat Peradi ini.
Korban kejahatan, kata dia, boleh saja melapor tetapi Polri, Kejaksaan dan Hakim tidak lagi memiliki wewenang untuk menuntut secara pidana terhadap si pelaku yang diduga melakukan pemalsuan.
Menurut Petrus, penyidik Polda NTT telah memaksa terjadinya peradilan yang sesat.
“Disini sesungguhnya telah terjadi peradilan sesat yang dicoba dipaksakan oleh Penyidik Polda NTT, ini adalah bagian dari proses pembodohan untuk membodohi masyarakat NTT yang sudah tinggi kesadaran hukumnya, ini bentuk penyalahgunaan wewenang Penyidik Kepolisian, menghamburkan uang negara untuk sebuah kasus yang bukan lagi masuk dalam domain kekuasaan atau wewenangnya,” tegas Petrus.
Oleh karena itu, tambahnya, Hakim Praperadilan harus mengabulkan gugatan Praperadilan ini sebagai proses pembelajaran bagi rekan-rekan Penyidik Polri di NTT yang bisa saja semangat penegakan hukumnya berlebihan sampai melampai batas alias overload.
Petrus mengatakan, Penyidik Polisi seharusnya menyadarkan Pelapor supaya menempuh upaya perdata sekiranya meyakini bahwa atas transaksi jual beli tanah yang menjadi alas hak pihak FOS diduga terjadi pemalsuan tanda tangan, maka buktikanlah itu dalam persidangan perdata karena upaya hukum secara perdata masih terbuka lebar.
“Yang dihapus dalam pasal 78 dan 79 KUHP itu adalah kewenangan menuntut aparat Peradilan tetapi hak menuntut dari pihak korban masih terbuka dan silahkan pihak Pelapor tinggalkan Polisi, jangan peralat wewenang Polisi untuk tugas tugas yang bukan lagi menjadi domain polisi,” ujar Petrus.
Petrus menyampaikan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian belum lama ini menegaskan bahwa yang merusak citra polisi di mata masyarakat adalah Polisi yang bertugas di reserse.
“Inilah yang harus diperhatikan oleh Kapolda NTT dalam rangka membenahi profesionalisme anak buahnya di bidang reserse,” pungkas dia. (*/bp)