Oleh: Thomas Tokan Pureklolon.
Dosen Ilmu Politik FISIP, Universitas Pelita Harapan.
Nampaknya judul tulisan di atas terlihat seksi dan sungguh menggoda siapa pun pembaca untuk menyimaknya, apa makna, nilai dan tujuan dari sebuah judul yang hadir dengan selera kesenangan bagi siapa pun yang terus berjalan dalam ruang dan waktu.
Pagi ini, tepatnya pada liburan hari kedua. Di balik meja kerja di tempat kediamanku. Aku ingin menulis sesuatu yang sedikit lain dalam hidup keseharianku selama ini. Bukannya menulis tentang ilmu politik ( political science ) seperti lazimnya sebagai metode kehidupan setiap hari dalam aktivitas setelah mengajar, membimbing dan berdiskusi dengan teman-teman sejawat di kampus. Bukannya juga membahas permenungan sosial politik yang terus menelisik berbagai nomen klatur teori politik yang secara rigit meneropong kehidupan para pelaku politik ( political behaviour ) di negeri ini, apalagi menjelang Pilpres 2024. Pada konteks ini, saya coba melakukan sebuah perjalanan intelektual tentang bagaimana memaknai sepotong kata “kebahagiaan” dalam sebuah ziarah waktu yang berarti, ketika liburan lebaran ini.
Adalah seorang sosok motivator, Margaret Lee Runbeck; dalam sebuah tesisnya ia menulis: “Kebahagiaan bukan sebuah tempat untuk dituju. Kebahagiaan adalah sebuah cara dalam melakukan perjalanan.”
Tersirat sebuah pertanyaan mendasar atas tesis yang cukup menantang pada awal perjalanan ini, yakni: Menurut Anda, apa arti terdalam dari definisi bahagia di atas? Atau sebuah pertanyaan yang hadir secara serta-merta untuk membangun kesadaran yang sontak lebih bersifat progresif yakni: Sudahkah Anda merasa bahagia pada kehidupanmu dewasa ini, saat ini dan di sini ( hic et nunch )?
Perjalanan kali ini adalah sebuah refleksi yang bisa punya dua sisi secara inheren yakni sebagai penulis refleksi dan juga sebagai penikmat refleksi.
Oleh karenanya kata ganti untuk penulis refleksi dan penikmat refleksi, saya hadirkan kata ‘kita’.
Tidak sedikit dari kita bisa mengukur sebuah tingkat kebahagiaan dari keberlimpahan materi yang dimiliki. Padahal belum tentu bergelimang harta, secara langsung bukan sebagai penjamin sebuah kebahagiaan yang sedang dihidupi. Kita pasti tahu dan pernah membaca bahwa, Robin Williams, adalah seorang aktor peraih oscar yang dikabarkan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan yakni dengan menggantung diri. Banyak orang sangat terkejut ketika itu dan seakan tidak percaya dengan pemberitaan ini. Menurut mereka, tidak mungkin seorang aktor ternama seperti Robin Williams yang tentu notabenenya aktor papan atas, punya kehidupan yang super mapan, sangat bergelimang harta, dan terus bertabur popularitas yang tinggi, justru mengakhiri hidupnya dengan cara yang mencekam dan begitu konyol. Sebagian orang tentu menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang terhina dalam perjalanan hidup ini.
Dalam pemberitaan dan pengakuan sang istrinya, ia berkisah bahwa jika suaminya beberapa waktu sebelum meninggal, sempat mengalami depresi yang hebat, kesulitan tidur, dan mengidap sebuah kecemasan yang akut.
Tentu kabar ini bisa menjadi pelajaran bernilai untuk kita kaji, paling tidak yang sedang membaca tulisan ini. Saat kekayaan begitu berlimpah menjadi milik pribadi yang dianggap sebagai keberlimpahan kebahagiaan, jabatan bergengsi telah diraihnya secara sempurna dalam peran hidup setiap orang, dan popularitas yang dimiliki terus naik-melangit. Semuanya itu hadir begitu saja dan telah menjadi hal yang di-Tuhankan, maka tidak akan menjadi garansi bagi kita, untuk dan bisa menikmati nilai dari sebuah kehidupan bahagia yang diraihnya dengan kerja keras, penuh perjuangan dan bercucuran air mata.
Kita memang merasa bahagia ketika mendapat kesuksesan, namun kesuksesan yang kita tentukan pun harus memiliki definisi yang searah dan benar dengan hakikinya kehidupan ini yang selalu bermakna, bernilai, dan tentu bertujuan mulia di hadapan Tuhan dan sesama. Jadi, mestinya linier nilai kebahagiaan tersebut.
Untuk bisa mengukur dan menentukan bahwa saat ini seseorang tampil bahagia atau belum bahagia, ada hal yang harus diperiksa. Barangkali, ada lima tanda kehidupan, bahwa seseorang sedang tidak menikmati kebahagiaan:
Pertama adalah gampang iri. Hal ini sering dialami bahkan mumgkin dilakukan ketika seseorang melihat pencapaian orang lain. Ketika seseorang iri dengan keberhasilan orang lain, pada saat yang sama kebahagiaan menjadi sangat enggan mendekati dan lari semakin menjauh. Kedua adalah sering mengeluh. Poin ini pun masih sering dijumpai di setiap lorong-lorong kehidupan ini, bahkan jangan-jangan sering dilalui dan dijalani di setiap kehidupan ini. Mengeluh tidak pernah dan tidak akan mengubah keadaan seseorang. Berhati-hatilah, penyakit mengeluh bisa menular dengan caranya yang akut. Bagi Anda yang punya teman dan saudara yang mengidap “mengeluh akut”, berhati-hatilah. Kalau bisa, saya ajak Anda untuk sembuhkanlah dengan caramu sejauh bisa dan memungkinkan dia untuk tetap bersinar. Ketiga adalah egois. Kita merasa tidak bahagia ketika yang kita pikirkan atau yang sedang ada di pikiran kita hanyalah diri kita. Bagi seseorang, kebahagiaan itu dirasakan dari kedalaman, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain.
Keempat adalah sinis. Pernahkah seseorang mengomentari kehidupan orang lain? Saya yakin jawabannya bukan pernah lagi, tapi bisa sering. Ketika seseorang melakukan sesuatu dan berhasil baik dan boleh dibilang sukses, barangkali dengan sinis kita bisa mengomentarinya.
Kelima adalah pelit. Untuk yang satu ini, entahkan setiap pembaca masuk dalam katagori ini? Ada satu hal yang perlu diingat adalah orang pelit tidak akan merasa bahagia karena mereka mengidap rasa takut yang akut. Orang pelit adalah mereka yang enggan berbagi karena memang mereka pelit. Jika mereka dermawan, mereka akan merasa tersaingi dan bisa kalah bersaing. Cobalah kita perhatikan secara saksama dalam perjalanan hidup ini, apakah ada orang-orang sukses memiliki mental pelit? Justru sebaliknya bahwa “mereka sukses karena mereka mau berbagi”.
Nikmati proses hidup dalam sebuah kesadaran, karena kebahagiaan merupakan sebuah cara ketika kita melakukan perjalanan dalam sebuah kesadaran.
Itulah sepotong kebahagiaan yang hadir sebagai catatan kaki ( catatan kehidupan ) yang tetap kita berusaha “ciptakan.”
Demikian, adanya…✍✍✍