NTTsatu.com – Dugaan kasus kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) masih terus berlanjut dan semakin seru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Setya Novanto yang memenangkan guguatan praperadilan atas statusnya sebagai tersangka mulai “unjuk kekuatan”.
Pada kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menetapkan Ketua DPR RI, Setya Novanto menjadi tersangka karena diduga telah terlibat di dalamnya. Namun kemudian Setya Novanto mengajukan gugatan atas status tersangkanya. Hakim praperadilan, Cepi Iskandar, pada akhirnya menyatakan penetapan status tersangka Novanto pada kasus e-KTP oleh KPK tidak sah.
Berhasil lolos dari jeratan hukum, nama Novanto kembali ramai diperbincangkan belum lama ini.
Melansir dari Tribunnews, beredar sebuah surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama tersangka Setya Novanto per 31 Oktober 2017.
Surat sprindik itu ditujukan kepada Novanto di Jalan Wijaya XIII No 19, RT 003/RW 003, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Pihak KPK melalui Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyebutkan pihaknya belum bisa mengonfirmasi sprindik atas nama Setya Novanto tersebut.
“Informasi tersebut belum bisa kami konfirmasi,” ujar Febri ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (6/11/2017).
Sementara itu, Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi membantah adanya sprindik atas nama Novanto. “Itu tidak ada, kami tidak menerima sprindik dan SPDP. Jadi yang beredar hanya isu. Nanti saja kalau benar baru kami bicarakan karena terlalu dini,” kata Fredrich.
Masih ‘hangat’ kehebohan soal sprindik, Novanto kembali membuat heboh dengan surat DPR yang dilayangkan kepada KPK. Surat tersebut sebagai respons terkait pemanggilan Setya Novanto oleh KPK, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Melansir dari Kompas.com, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, surat tersebut berasal dari Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, yang diterima bagian persuratan KPK, Senin pagi.
“Karena menurut surat tersebut, panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI,” kata Febri, saat dikonfirmasi, Senin siang.
Berbagai respon pun menyeruak dari banyak pihak. Ada yang menyebut bahwa pemanggilan Novanto harus seizin presiden, ada juga yang berkata sebaliknya.
Polemik Setya Novanto dengan KPK semakin ramai ketika tiba-tiba saja muncul Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Bareskrim Mabes Polri untuk Ketua KPK, Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Melansir dari Tribunnews, dua pimpinan KPK itu disebut tersangkut kasus dugaan tindak pidana membuat, memalsukan, dan menggunakan surat palsu.
Namun SPDP itu muncul dari tangan Kuasa hukum Setya Novanto (Setnov), Fredrich Yunadi SH, bukan dari penyidik Bareskrim Mabes Polri.
Fredrich saat itu sedang menyambangi kantor Bareskrim Mabes Polri di Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2017).
Ia menyatakan Bareskrim telah mengeluarkan SPDP untuk Agus Rahardjo dan Saut Situmorang.
“Dengan ini diberitahukan bahwa pada hari Selasa tanggal 7 November 2017 sudah dimulai penyidikan terhadap dugaan tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat dan menggunakan surat palsu dan/atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 421 KUHP yang diduga dilakukan oleh terlapor Saut Situmorang, Agus Rahardjo Dkk,” begitulah isi poin kedua yang tertulis pada surat tersebut.
Di bagian bawah surat tertulis tembusan kepada Jaksa Agung, Kabareskrim Polri, Karowassidik Bareskrim Polri, Sandy Kurniawan (pelapor), Saut Situmorang (Terlapor), dan Agus Rahardjo (Terlapor).
“Ini sudah ada SPDP, diduga dilakukan oleh siapa bisa dilihat sendiri. Jadi SPDP sudah diserahkan kepada Kuningan (KPK) juga, jadi mereka sudah tahu,” ujar Fredrich sambil menunjukan surat itu kepada wartawan.
Masih kata Frerich, pihaknya melaporkan dugaan pelanggaran Pasal 263 dengan pasal 421 juncto Pasal 23.
“Dimana membuat surat keterangan seolah-olah benar, penyalahgunaan kekuasaan dan menjalankan tugas Tipikor,” kata Fredrich.
Seperti dikatahui sebelumnya, ada seorang pria bernama Sandy Kurniawan yang melaporkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dengan dugaan tindak pidana membuat surat palsu dan menggunakan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP.
Menanggapi adanya SPDP tersebut, KPK melalui jubirnya, Febri Diansyah, menjelaskan pihaknya sudah menerima surat yang ditujukan untuk dua pimpinan KPK.
“Tentu kami akan pelajari lebih lanjut, termasuk juga apa yang dipersoalkan di sana, karena itu tidak tercantum dalam surat tersebut,” kata Febri Diansyah saat ditemui wartawan, Rabu (8/11/2017). (*/bp)