NTTsatu.com – Sidang kasus tindak pidana korupsi E-KTP yang melibatkan pencuri-pencuri besar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus berlangsung terbuka untuk umum. Tidak ada alasan untuk melakukan sidang secara tertutup.
Demikian penegasan Petrus Bala Pattyona – Praktisi Hukum dan Pengajar Hukum Acara Pidana menanggapi pernyataan Yohanes Priana selaku Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tempat berlangsungnya persidangan tindak pidana korupsi E-KTP yang melibatkan pencuri-pencuri besar negeri ini.
Yohanes mengatakan ada tiga alasan hakim melarang siaran langsung persidangan. Pertama, majelis hakim ingin mengembalikan marwah dan fungsi untuk memastikan sebuah peristiwa kejahatan yang sebenarnya terjadi; kedua, pengadilan tidak ingin menghancurkan konten persidangan dan ketiga, peradilan adalah ranah personal karena orang-orang yang diajukan ke pengadilan sudah pasti menjadi beban keluarga dan kerabat.
Terhadap ketiga alasan tersebut. Petrus melalui rilisnya yang diterima redaksi NTTsatu.com, Minggu (12/3) menelisiknya dalam kajian teori akademis dan praktek peradilan menegaskan, sesungguhnya tidak tepat karena melanggar asas-asas peradilan pidana.
Dalam persidangan pidana dikenal begitu banyak asas-asas persidangan yang diatur dalam hukum acara pidana yaitu pertama, peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hal ini diatur dalam pasal 29 UUD 45 yang menentukan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan yang maha esa.
Kedua, Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari pada yang ditentukan dalam undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 6 UU No. 4 Tahun 2004; ketiga, asas persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya semua orang diperlakukan sama dengan tidak membedakan status sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya miskin, daan tidak membeda-bedakan orang; Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat 2 UU No 4 tahun 2004.
Keempat, tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang memperoleh keyakinan bahwa seorang yang dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan.(vide pasal 6 ayat 2 UU No 4 tahun 2004).
Kelima, semua proses peradilan dilakukan atas perintah tertulis dari yang berwenang artinya segala tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan lain-lain berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang (vide pasal 7 UU No, 4 tahun 2004);
Keenam, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), artinya belum dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde — diatur dalam pasal 8 UU No 4 tahun 2004); Ketujuh, asas pemberian ganti tugi dan rehabilitasi atas kesalahan penangkapan, penahanan atau peradilan terhadap seseorang sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU No. 4 Tahun 2004;
Kedelapan, asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan (contante justice sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2, pasal 5 ayat 2 UU. No. 4 Tahun 2004), Kesembilan, asas berhak memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam 37 UU No. 4 Tahun 2004 atau pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP).
Kesepuluh, wajib diberitahu isi dakwaan dan dasar dakwaan; Kesebelas, asas wajib hadir dalam persidangan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No, 4 Tahun 2004, keduabelas, persidangan terbuka untuk umum artinya siapapun diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan, sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004.
Ketiga belas, asas tujuan persidangan adalah memberikan perlindungan hak asasi manusia serta menjamin objektifitas dengan pemeriksaan yang fair dan tidak memihak serta putusan yang adil. Keempat belas, asas pembacaan putusan dilakukan secara terbuka untuk umum sebagaiman dimaksud dalam 20 UU No 4 Tahun 2004,
Kelima belas, asas pemeriksaan – cross examination dilakukan secara lisan, artinya dialognya langsung antara hakim, jaksa, penasehat hukum terhadap saksi-saksi, ahli juga terdakwa, Tak dibenarkan dilakukan secara tertulis. sebagaimana diatur dalam pasal 154 KUHAP.
Keenam belas, putusan hakim harus disertai alasan-alasan, pertimbangan-pertimbangan hukum, pasal-pasal yang terbukti dan tidak terbukti dan dasar berlakunya undang-undang atau peraturan lainnya — sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat 1 UU No, 4 Tahun 2004.
Ketujuh belas, asas pembuktian dalam penjatuhan pidana harus berdasarkan pembuktian yang sah sesuai undang-undang sebagimana diatur dalam pasal 6 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 an pasal 184 KUHAP. Kedelapanbelas, asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili, memutus semua perkara yang diajukan sebagaimana diatur dalam pasal 16 UU No. 4 tahun 2004, dan kesembilan belas, asas pengawasan pelaksanaan putusan hakim.
Kembali ke ketiga alasan Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Petrus menegaskan, telah terbukti alasan-alasan tersebut tak sesuai dengan asas-asas peradilan pidana dan apalagi jelas-jelas melanggar asas persidangan terbuka umum. Memang majelis hakim tidak melanggar asas persidangan terbuka umum karena dilakukan terbuka dan dapat dihadiri siapa pun, dan tentunya pendapat tersebut benar, tetapi seharusnya asas terbuka untuk umum tidak sekedar dihadiri siapa pun di sruang sidang, karena tidak semua orang dapat hadir di pengadilan dan kalau pun hadir kapasitas ruang sidang sangat terbatas.
Satu-satunya untuk memenuhi asas terbuka untuk umum yaitu membolehkan televisi menyiarkan langsung. Kakhawatiran majelis hakim bahwa akan membuat asumsi publik berkembang atau berpotensi membuat aktor-aktor yang terlibat merekayasa keterangan. Kekhawatiran tersebut sungguh berlebihan, karena bagaimana mungkin para aktor menakuti saksi-saksi sementara keterangan saksi-saksi sudah dituangkan dalam BAP.
Apabila ternyata keterangan saksi-saksi dalam BAP berbeda dengan keterangan dalam persidangan, majelis hakim cukup mengingatkan soal sumpah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 KUHP, atau hadirkan penyidik untuk dikonfrontir dengan saksi tentang perbedaan suatu keterangan atau fakta, apakah perbedaan keterangan dalam persidangan dengan BAP karena saksi dipaksa, ditekan, diancam atau diintimidasi atau memberikan keterangan secara tidak bebas. Semuannya terpulang kepada majelis soal seni memimpin sidang dan mengendalikan lalu lintas dialog.
Dengan adanya argumentasi tersebut tidak ada alasan majelis hakim melarang siaran langsung karena siaran langsung adalah metode baru sidang terbuka untuk umum bukan hanya kehadiran pengunjung di ruang sidang, tetapi hak masyarakat atas keterbukaan informasi, apalagi masyarakat sangat berkepentingan dengan nilai korupsi yang tak tanggung-tanggung. (bp)