Soal Dana Aspirasi, Sesneg: Arahan Presiden Jelas Tidak Bisa

0
721

NTTsatu.com – Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau disebut ‘Dana Aspirasi’ telah disahkan DPR. Presiden Joko Widodo berharap semua pihak prihatin terhadap kondisi bangsa dengan lebih efektif dalam mengelola anggaran.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan situasi ekonomi Indonesia saat ini tengah bergolak. Pertumbuhan ekonomi tidak seperti yang diharapkan. Akibatnya masyarakat banyak yang kesusahan.

“Oleh karena itu kita harus benar-benar efektif, efisien untuk mengelola dan memanfaatkan anggaran kita sebaik-baiknya, APBN kita sebaik mungkin,” ujar Pratikno saat ditemui wartawan di Kompleks Istana Presiden, Jakarta Pusat, Kamis (25/6/2015).

Untuk itu, lanjut Pratikno seperti dilansir detik.com , Presiden Jokowi berharap agar semua piha ikut prihatin atas kondisi bangsa. Pengelolaan anggaran pun diharapkan lebih berhati-hati.

“Jadi Presiden mengharapkan semua pihak untuk ikut prihatin dengan kondisi rakyat. Berhati-hati dalam memanfaatkan anggaran semaksimal mungkin, seefektif mungkin,” kata Pratikno.

Untuk itu Pratikno menegaskan arahan Presiden jelas tidak bisa menerima usulan dana aspirasi tersebut.

Misteri ‘Pasal Selundupan’ di UU MD3

Tiga fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yakni Partai Hanura, PDI Perjuangan, dan Partai NasDem menolak program dana aspirasi alias Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Tiga fraksi di DPR itu sebenarnya bisa menolak sejak awal ketika Undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disahkan.

Pasal 80 huruf J di UU MD3 itulah yang menjadi payung hukum sehingga anggota DPR memiliki hak mengusulkan anggaran pembangunan untuk daerah pemilihan alias dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per tahun per orang. Dalam satu tahun anggaran untuk dana aspirasi mencapai Rp 11,2 triliun.

Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyebut ada upaya sengaja ‘menyelundupkan’ pasal tersebut ke dalam UU MD3 secara halus. Aksi ‘penyelundupan’ pasal tersebut nyaris tak tercium karena dilakukan saat konsentrasi dua kekuatan besar di DPR yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih tengah memperebutkan kursi pimpinan.

“Penyelundupan ini begitu canggih sampai tidak disadari. Sekarang, orang baru kaget karena pengajuan dana aspirasi ada dasar hukumnya,” kata Sebastian dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (13/6/2015) lalu.

Memang di pasal 80 huruf J UU MD3 hanya menyebutkan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Tak ada yang menyebut dan mengatur besarnya dana aspirasi.

Besarnya anggaran sebesar Rp 20 miliar per anggota/tahun baru tercantum dalam Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Program pembangunan di Daerah Pemilihan yang disahkan Selasa lalu.

Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat Patrice Rio Capella mengatakan bahwa saat UU MD3 dibahas dan disahkan pada Juli 2014, partainya belum membentuk fraksi di DPR. Fraksi NasDem terlibat saat pembahasan revisi UU MD3 pada akhir 2014 lalu.

Namun saat itu tak ada materi pembahasan soal pasal 80 poin (j) UU MD3. “UU itu direvisi terbatas, hanya tentang pimpinan.  PDIP juga waktu itu walk out,” kata Patrice kepada wartawan di gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (25/6/2015).

Sementara anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR Aria Bima ketika dikonfirmasi soal pasal 80 poin (j) UU MD3 justru menyalahkan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. PDIP, kata Aria Bima, sedari awal menolak pemilu dengan sistem proporsional sistem terbuka yang memunculkan ide dana aspirasi Rp 20 miliar/anggota/tahun. ***

 

Komentar ANDA?