NTTsatu.com — KUPANG — Bupati Malaka Dr. Simon Nahak, S.H., M.H., menjelaskan persoalan tapal batas Kabupaten Malaka dan Kabupaten TTS secara filosofis acuannya jelas yakni penyelesaian persoalan tapal batas itu bisa melalui musyawara mufakat.
Musyawarah mufakat ini menurut Bupati Simon, jika dilihat dari aspek yuridis ada azas hukum yang menyebutkan Pacta sunt servanda (dalam bahasa Latin berarti “perjanjian harus ditepati”). Dalam KUHPerdata pasal 1338 juga menyebutkan “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
“Persetujuan para pihak yang menyepakati itu menjadi undang-undang bagi para pihak yang menandatangani. Para pihak yang dimaksud adalah Kabupaten Malaka dan Kabupaten TTS,” ungkap Bupati Malaka usai mengikuti Rapat Koordinasi Penyelesaian Batas Daerah di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur, Selasa (18/5/2021)
Bagi Bupati Malaka, Ini sesungguhnya hanya menindaklanjuti saja karena masalah inikan sudah cukup lama dan kebetulan saya yang dipercaya rakyat Malaka untuk menjadi Bupati dan saya lihat bahwa tidak ada waktu untuk kita tunda-tunda. Sudah waktunya. Untuk itu mari kita berdiskusi untuk mengeksekusi hal yang sudah lama didiskusikan itu.
“Untuk saat ini, kita tidak perlu menunda-nunda menyelesaikan persoalan tapal batas. Sudah waktunya, mari kita eksekusi hal yang sudah lama kita diskusikan,” ujar Bupati Simon.
Persoalan perbatasan ini, kata Bupati Simon, kalau dulu orang selalu berpikir untuk asal bicara batas seolah-olah berbicara tentang menanggulangi kejahatan. Perlu merubah paradigma pemikiran seperti itu. Justru batas itu, seperti yang sudah diusulkan kepada Wagub dan seluruh teman-teman bupati, dikatakan kita malah punya konsep ke depan justru daerah-daerah perbatasan itu kita bangun saja pasar tradisional.
“Konsep saya membangun perbatasan menjadi pasar tradisional bertujuan mengubah paradigma yakni tempat yang tadinya dianggap jahat (istilahnya; tempat yang tadinya kita wariskan parang) untuk melakukan kejahatan menjadi tempat yang orang mencari makan minum di situ. Dengan menciptakan aktivitas di bidang ekonomi di daerah itu,” tandas Bupati Simon.
Mengenai 44 titik yang dipersoalkan, sesuai yang sudah disepakati dan juga sudah menjadi lampiran dan tadi sudah diparaf. Jadi secara yuridis formal itu sudah selesai atau klir. Maka tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan karena nomenklaturnya sudah jelas, substansinya jelas, lampiran pun sudah diparaf artinya sudah tuntas.
“Tetapi karena ini pendekatan humanis jadi saya akan melakukan pendekatan kekeluargaan, saya punya komitmen saya pulang dari Kupang saya bangun komunikasi dengan Bupati dan Wakil Bupati TTS supaya kami selesaikan seperti apa, ini soal hal teknis saja. Saya kira itu yang saya lakukan. Ini kesepakatan kami, dan ini jalan keluar yang terbaik,” tutur Bupati Malaka.
Bupati Malaka menuturkan persoalan batas itu yang lebih tahu maka tidak harus limpahkan masalah daerah ke Pemerintah pusat. Dan ini juga bagian dari tugas dan wewenang saya sebagai seorang Bupati harus berani ambil keputusan. Ya tidak perlu menunda sesuatu berlama-lama.
“Intinya Perdebatan mengenai batas inikan sebetulnya soal kepentingan. Kepentingan yang sesungguhnya adalah untuk bonum commune suprema lex (kesejahteraan masyarakat adalah hukum tertinggi). Jadi tidak perlu ditunda lagi. Karena bagi Malaka sudah selesai. Tidak ada lagi kepentingan politik,” tegas Bupati Malaka Simon Nahak. (*/gan)