NTTsatu.com – KUPANG – Selasa 13/3/2018 kemarin termohon (Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT) menyampaikan jawaban atas Permohonan Praperadilan Frans Oan Semewa (FOS).
Termohon menjawab keberatan terhadap penetapan sebagai tersangka atas laporan atau pengaduan dari Christian Natanael alias Werly yang tertuang dalam laporan polisi nomor : LP/B/423/XII/2017/SPKT tertanggal 6 Desember 2017.
Pelapor saat itu, melaporkan telah terjadi tindakan pidana pemalsuan dokumen pada tahun 1999 menitip sebuah sertifikat tanah nomor 875 atas nama Christian Natanael kepada FOS karena meminjam uang sebesar 5 juta rupiah dengan perjanjian lisan.
Namun setelah setelah pelapor memiliki uang untuk menebus sertifikat tersebut telah balik nama dengan mencantumkan nama FOS. Merasa dirugikan, Christian Natanael melaporkan ke SPKT Polda NTT.
Menindaklanjuti laporan itu, penyidik Polda NTT telah melakukan penyelidikan sesuai dengan surat perintah nomor : SP-LIDIK/449/XII/2017/Ditreskrimum tanggal 15 Desember 2017.
Hasil penyelidikan diduga ada tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 264 (1 dan 2), 263 (1 dan 2) KUHP juncto pasal 55 (1) KUHP sehingga melalui gelar perkara, laporan tersebut dapat ditingkatkan ke penyidikan sebagaimana termuat dalam surat perintah penyidikan Nomor: SP-SIDIK/55/I/2018/Ditreskrimum, tanggal 31 Januari 2018.
Saksi saksi pun sudah diperiksa oleh penyidik. Saksi-saksi yang dimaksud adalah Christian Natanael, Iman Wahyudi, Herinimus A Norman, Hendrikus Nurdin,Yosep Latif, Herman I Juli Saisar dan Yohanis Suardi.
Penyitaan terhadap bukti surat sudah dilakukan dan tindakan pemeriksaan laboratorium kriminalistik questionet tanda tangan (QT) Cristian Natanael dinyatakan non identik.
Sesuai dengan keterangan pelapor (Christian Natanael) dia mengetahui pemalsuan tanda tangan dalam surat yang ada dalam AJB bernomor : 53/JB/KK/IV/1998 setelah ditunjukan oleh penyidik Polda NTT atas laporan pada tahun 2015 tentang penggelapan sertifikat tanah nomor 875.
Saat itu kasus tersebut dihentikan karena tidak cukup bukti adanya tindakan penggelapan.
Pada tahun 2015 Christian Natanael melaporkan kembali kasus tersebut Ke Polda NTT dan prosesnya dilanjutkan sampai sekarang.
Dalam permohonan praperadilan, pemohon berpendapat bahwa kasus tersebut tidak dapat dilakukan proses hukum karena telah daluwarsa atau lewat dari 12 tahun terhitung sejak diterbitkan akta jual beli bernomor : 53/JB/KK/IV/1998, tanggal 22 April. Dalil tersebut tidak berdasarkan fakta hukum dan harus ditolak atau tidak diterima karena tidak sesuai urain fakta.
Menurut kuasa hukum Frans Oan Semewa yaitu Toding Manggasa, S.H, Erlan Yusran, S.H,M.H,C.P.L dan Ferdinandus Angka, terdapat sejumlah kejanggalan yang dilakukan penyidik Polda NTT terhadap penetapan tersangka Frans Oan Smewa( FOS).
Laporan Polisi itu soyogianya tidak boleh dilanjutkan karena lewat waktu atau daluwarsa (Verjaring) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 78 (1) KUHAP.
Sementara Akta Jual Beli (AJB) bernomor : 53/JB/KK/1998 tertanggal 22 April 1998 dan tercatat dalam SHM No 875 pada tanggal 9 Juni 1998.
Dengan demikian, laporan polisi itu dinyatakan daluwarsa, karena jangka waktu pelanggaran telah diatur dalam pasal 78 KUHAP dengan rentang waktu 12 tahun. Sementara jika dihitung sejak tahun 1998 maka rentang waktunya 19 tahun.
Cara menghitung daluwarsa telah diatur dalam pasal 79 KUHP yang dimana tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu dimulai berlaku pada hari atau sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan.
Dalam kasus ini, konkritnya adalah dihitung sejak proses balik nama di kantor pertanahan kabupaten Manggarai 22 April 1998 dan mendapatkan SHM, 9 Juni 1998.
Menurut kuasa hukum FOS, termohon (penyidik Polda NTT) telah mengabaikan pasal 78 dan 79 KUHP karena melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan menetapkan FOS sebagai tersangka
Kuasa hukum keberatan dengan penetapan tersangka FOS karena tidak pernah melakukan perbutan seperti yang dilaporkan pelapor.
“Darimana FOS memperoleh KTP pelapor untuk memperoleh AJB dan bagaimana cara pelapor mendapatkan SHM No. 875. Setelah mendapatkan SHM No.875 terlapor (FOS) langsung membangun Hotel Gardena II dan mengurus SITU yang dikelurkan oleh pihak terkait pada tahun 1999.Kenapa pelapor tidak mengajukan keberatan sementara pelapor tinggal di Labuan Bajo yang nota bene mengetahui apa yang terjadi diatas tanah SHM No.875” ucap salah satu kuasa hukum FOS.
Dikatakannya, pelapor mulai persoalkan tanah sejak harga tanah di Labuan Bajo mengalami kenaikan pasca Sail Komodo tahun 2013.
“Pidana dan perdata selalu dipersoalkan oleh yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan pelapor mempersoalkan secara pidana di Polres Manggarai Barat yang berujung pada terbitnya SP3, kemudian pelapor menggugat secara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo namun gugatan itu ditolak dan saat ini masih dalam proses pemeriksaan kasasi di Mahkama Agung. Lapor ke Polda NTT tetapi tidak di proses,” imbuhnya.
Laporan yang kedua, ujar dia, penyidik Polda NTT melakukan proses hukum dengan menetapkan FOS tersangka. Kenapa pelapor melaporkan ke dua kalinya di NTT?
Sementara itu penetapan tersangka oleh penyidik Polda NTT hanya dikantongi satu alat bukti. Alat bukti yang sah sudah termuat dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Atas dasar itu penetapan tersangka FOS dinilai melanggar hukum. Menurut hukum, tindakan termohon (Penyidik Polda NTT) yang menindaklanjuti proses penyelidikan dan penyidikan dinyatakan gugur karena daluwarsa.
Setelah mendengarkan jawaban dari termohon,Toding Manggasa,S.H mempertanyakan dasar hukum yang digunakan penyidik Polda NTT untuk menghitung daluwarsa.
Menurut dia, tentang dalawarsa sebuah kasus itu sudah dicantumkan pada pasal 78 KUHP dan 79 KUHP tentang cara menghitung daluwarsa.
“Hitungan daluwarsa kasus itu harus berlandaskan hukum” tegasnya.
Ia menambahkan, terkait penyitaan penyidik Polda NTT dinilai melanggar pasal 38 ayat 1 dan 2 tentang penyitaan.
Pasal 38 (1 dan2) KUHAP menjelaskan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya” jelas Ketua Peradi Manggarai itu.
Sejauh ini kata dia, pihaknya sudah melakukan konfirmasi ke Pengadilan Negeri Ruteng melalui Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Ruteng, Kristian Manafe.
“Jawaban beliau adalah pihak penyidik belum menyampaikan secara resmi terkait penyitaan dokumen Akta Jual Beli (AJB) itu” tuturnya.
Untuk diketahui, sidang praperadilan Frans Oan Smewa ( FOS) melawan Direktur Reserse Kriminal Polda NTT dipimpin oleh Hakim tunggal A. A.Made A. Nawaksara, S.H., M.H dan didampingi panitera pengganti Selsily Donny Rizal, S.H. (mus)