KUPANG. NTTsatu.com – Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak PDI Perjuangan untuk memberi klarifikasi terbuka kepada publik terkait mandeknya penanganan kasus 27 Juli 1996. Padahal kasus tersebut sebagai cikal bakal lahirnya reformasi.
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus melalui keterangan persnya yang diterima media ini, Kamis (18/6).menyebutkan, sedikitnya ada tiga aspek yang harus diklarifikasi oleh PDI Perjuangan, yakni (satu) alasan apa PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri lebih memilih sikap mendukung Letjen TNI (Purn) Sutiyoso menjadi Gubenur DKI Jakarta, mengikutkannya dalam Timses Pilpres Jokowi- JK dan sekarang mendukungnya sebagai calon Kepala BIN meskipun yang bersangkuta berstatus tersangka 27 Juli.
(Dua), mengapa tidak ada upaya dari DPP PDI Perjuangan untuk mendorong bahkan menuntut Bareskrim Polri dan Kejaksaan Tinggi DKI menuntaskan penuntutan kasus 27 Juli. (Tiga), darimana sumber uang yang dibagikan oleh DPP PDI Perjuangan kepada para korban 27 Juli masing- masing sebesar Rp10 juta bahkan ada yang lebih disertai dengan syarat menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut lagi secara perdata dan pidana kasus 27 Juli.
“DPP PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri harus mengklarifikasi permintaan tanda tangan surat pernyataan tidak menuntut kasus 27 Juli, sebagai syarat dalam pemberian uang tali kasih kepada FKK 124 sebagai korban tragedi berdarah itu,” kata Petrus.
Ia berargumen, klarifikasi terbuka dimaksud sangat dibutuhkan karena terdapat ketidaklogisan sikap Megawati Soekarnoputri. Dimana terdapat persamaan kedudukan antara Megawati Soekarnoputri dengan 124 orang korban 27 Juli yaitu sama- sama sebagai korban kasus 27 Juli yang melaporkan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, dkk sebagai orang yang diduga sebagai pelaku turut serta dalam peristiwa 27 Juli.
Ironisnya, ketika ada uang, PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri malah bertindak sebagai kasir yang membayar uang tali kasih dan sebagai juru damai yang meminta surat pernyataan tidak menuntut lagi kasus 27 Juli kepada 124 korban yang tergabung dalam FKK 124.
Petrus mengungkapkan, ketidaklogisan hubungan ini mengindikasikan bahwa Megawati Soekarnoputri dan DPP PDI Perjuangan diduga kuat membawa misi pihak lain. Atau setidak- tidaknya menjadi perantara atau makelar untuk menjembatani kepentingan pihak ketiga sekaligus.
Tujuannya, agar 124 orang korban yang tergabung dalam FKK 124 tidak menuntut kasus 27 Juli yang memiliki kaitan langsung dengan peran dan tanggung jawab Letnjen TNI (Purn) Sutiyoso, dkk yang saat ini masih menyandang status tersangka 27 Juli.
“Jika PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri tidak melakukan klarifikasi terbuka, FKK 124 dan TPDI akan melakukan tuntutan secara perdata dan pidana kepada DPP PDI Perjuangan, pemerintah dan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, dkk ke Kepolisian dan Pengadilan,” ancam Petrus.
Anggota TPDI, Robert Keytimu mengungkapkan sejumlah peristiwa yang patut dijadikan referensi sekaligus sebagai indikator adanya upaya sistimatis dari internal DPP PDI Perjuangan untuk secara tidak bermartabat menutup upaya penuntasan kasus 27 Juli.
Tidak adanya kemauan politik, baik dari Megawati Soekarnoputri sebagai pribadi maupun sebagai Ketua Umum partai untuk secara konsisten menuntut penuntasan kasus 27 Juli sesuai dengan haknya selaku korban. Beberapa tersangka kasus 27 Juli khususnya dari unsur TNI diterima menjadi kader elit partai, dijadikan Gubernur seperti Letjen TNI (Purn) Sutiyoso dan sekarang calon Kepala BIN. Selain itu Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo sekarang jadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Megawati Soekarnoputri berkali- kali menyatakan bahwa dirinya tidak mau mengintervensi jalannya proses hukum atas kasus 27 Juli, tetapi pada kesempatan lain di acara resmi Partai Megawati sembari menitikan air mata selalu menyatakan akan tetap menuntut pertanggungjawaban pidana atas kasus 27 Juli.
Robert menegaskan, sejumlah fakta dimaksud menunjukan ada sikap inkonsistensi, ada sikap ambivalen, ada tipusmulihat bahkan dusta. Hal itu bisa ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan bersama melawan kesewenang- wenangan sisa- sisa kekuatan penguasa Orde Baru dalam pemerintahan reformasi, terlebih-lebih para korban diminta untuk tidak menuntut secara perdata dan pidana disertai dengan iming- iming dan bagi- bagi uang. (bop)