TPDI Menilai Humas Polda NTT Langgar Hukum dan Etika Komunikasi

0
443
Foto: Petrus Selestinus Koordinator TPDI dan juga Advokat Peradi

NTTsatu.com – JAKARTA – Sikap Humas Polda NTT yang bungkam terhadap media membuat Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) angkat bicara. TPDI menilai sebagai tindakan melanggar hukum dan etika dalam komunikasi.

“Itu sebuah kesalahan fatal yang dilakukan oleh Polda NTT,” kata Petrus Selestinus Koordinator TPDI dan juga Advokat Senior itu melalui wahtsapp yang diterima media ini, Senin, 5 Maret 2018.

Menurut Koordinator TPDI tersebut, Polri adalah lembaga publik harus selalu membuka diri terhadap koreksi dan kritik. Sikap Kabid Humas Polda yang tidak mau menjawab pertanyaan media, hal itu jelas melanggar hukum dan etika dalam komunikasi publik.

Ia Menegaskan, sikap tertutup diri Polda NTT bertentangan dengam jati diri POLRI sebagai institusi publik (milik rakyat) di era keterbukaan informasi publik saat ini.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda NTT, Kombes Pol Jules A Abast bungkam terhadap kasus penyidik yang dinilai melanggar hukum atas penetapan tersangka Frans Oan Smewa (FOS).

Sejak diberitakan media, berkali kali Kabid Humas Polda NTT dihubungi melalui telpon seluler, Whatsapp dan pesan singkat tetapi dia sama sekali tidak pernah meresponnya.

Untuk diketahui, Frans Oan Smewa (FOS) mengajukan keberatan atas penetapan sebagai tersangka oleh penyidik Polda NTT.

Melalui kuasa hukum, Erlan Yusran, SH,MH  ia menjelaskan bahwa Penyidik Polda NTT telah mengangkangi pasal 78 dan 79 Kuhap tentang gugurnya hak menuntut secara pidana dan perhitungan waktu kadaluwarsa terhadap laporan Christian Natanael.

Melihat hal ini kata Erlan, FOS mengajukan perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Kupang.

“Saya sudah daftar di PN Kupang pada hari Jumat, 23 Februari 2018 lalu dan diterima oleh staff PN bagian piket,  lalu diteruskan ke bagian pidana,” jelas Erlan melalui pesan whatsapp yang diterima, Kamis 1 Maret 2018.

Berdasarkan data yang dihimpun media ini, surat laporan perkara pra peradilan di PN Kupang itu bernomor 03/Pid.Pra/2018/PN.KPG.  Sedangkan jadwal sidang pertama Senin, 12 Maret 2018.

Diinformasikan bahwa penetapan tersangka terhadap Frans Oan Semewa oleh Polda NTT dinilai melanggar hukum.Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Frans Oan Semewa Erlan Yusran,SH,MH.

Melalui kuasa hukumnya, ia menyatakan keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka.

“Jual beli tanah yang dimaksud benar-benar terjadi antara Christian Natanael dan saya pada tahun 1998,” cerita Erlan Yusran meniru ucapan Frans Oan Semewa.

Melalui pesan whatsapp yang diterima media ini Minggu, 25 Pebruari 2018 Erlan menuturkan bahwa tindakan Penyidik Polda NTT yang menindaklanjuti laporan Christian Natanael dinilai melanggar hukum karena mengangkangi ketentuan Pasal 78 KUHP.

Dalam Pasal 78 KUHAP itu kata dia, mengatur tentang gugurnya hak menuntut secara pidana karena kedaluwarsa sedangkan pada Pasal 79 KUHP yang mengatur tentang perhitungan waktu kadaluwarsa.

“Pasal 79 ayat (1) KUHP mengatur secara khusus penghitungan kadaluwarsa tindak pidana pemalsuan yaitu sehari sesudah barang yang diduga dipalsukan digunakan sampai 12 tahun kemudian,” jelas Erlan Yusran.

Lebih jauh ia menjelaskan, dalam kasus ini Frans Oan Semewa menggunakan  Akta Jual Beli (AJB) tanah yang diduga palsu sejak tgl 9 Juni 1998 silam (saat balik nama).

“Dengan demikian, masa kadaluwarsa itu terhitung sampai tgl 9 Juni 2010. Lewat dari tgl 9 Juni 2010, hak untuk menuntut secara pidana, dengan sendirinya gugur,” pungkasnya.

Erlan menambahkan, Langkah hukum yang dilakukan Frans Semewa saat ini adalah mengajukan permohonan Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Kupang.

Data yang diperoleh media ini bahwa pada tahun 1998, Christian Natanael alias Chris alias Werli menjual sebidang tanah kepada Frans Oan Semewa (FOS), yang terletak di Pulau Seraya Kecil, Kelurahan Labuan Bajo, Kec. Komodo, Kab. Manggarai (sekarang menjadi Kabupaten Manggarai Barat). Tanah tersebut  ber – Sertifikat Hak Milik (SHM)  No 875.

Atas jual beli tanah dimaksud dibuatlah Akta Jual Beli (AJB) Nomor : 53/JB/KK/IV/1998 tgl 22 April 1998, yang dibuat oleh Camat Komodo (Drs. Yos Vins Ndahur,  alm) sebagai PPAT.

Pada tangal 9 Juni 1998, SHM No 875 dibalik nama dari pemegang hak lama, Christian Natanael kepada pemegang hak baru Frans Oan Semewa (FOS).

Sejak itu, Frans Oan Semewa membangun Hotel Gardena II di objek jual beli tanah tersebut.

Tahun 1999, ketika pembangunan Hotel Gardena II sedang berjalan, Christian Natanael kembali menjual 2 bidang tanah miliknya (SHM No. 876 dan SHM No. 878) kepada  Frans Oan Semewa. Dua bidang tanah tersebut  berbatasan langsung degan tanah SHM No. 875.

Pada tanggal 6 Desember 2017, Christian Natanael melaporkan  Frans Oan Semewa ke Polda NTT, dalam dugaan tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli No 53/JB/KK/IV/1998 tgl 22 April 1998 atas tanah degan SHM No. 875 (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1-e KUHP).

Penyidik Polda NTT menanggapi laporan tersebut dan selanjutnya menetapkan  Frans Oan Semewa sebagai  tersangka sesuai Surat Panggilan No. SP-Gil/124/II/2018/Ditreskrimum tangal 19 Februari 2018. (mus)

Komentar ANDA?