NTTsatu.com – JAKARTA. Sejumlah advokat yang terabung dalam Tim Pembela Profesi Advokat (TPPA) dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) melakukan Uji Materi Pasal 458 ayat 6 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) Jumat, 1 Maret 2019. Pasal tersebut menyatakan: “Penyelenggara Pemilu yang diadukan harus datang sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain”.
Petrus Bala Pattyona selaku Pemohon dalam pengujian ini memberi kuasa kepada 28 advokat dari berbagai daerah seperti H. Rusdi Taher, OK Jusli, Arthur Yudi Wardana dari KAI Jawa Barat. Ada juga dari Pekanbaru Baru seperti Sahala Hutabarat dan Linda Theresia Silalahi. Juga Riswanto Lasdin dari Palu dan Anthony Yuda Timor dari Semarang.
Petrus selaku Pemohon mendalilkan ketentuan dalam Pasal 458 ayat 6 UU. Pemilu telah merugikan, tidak memberikan kepastian hukum karena Majelis DKPP pernah menolaknya dalam persidangan di DKPP yang berlangsung di Gedung Arsip Banda Aceh tanggal 5 Desember 2018 saat mendampingi 4 Komisioner KIP Nagan Raya selaku Penyelenggara Pemilu.
Dalam persidangan Petrus ditolak karena adanya frasa Penyelenggara Pemilu tidak dapat mengusahakan kepada orang lain. Sementara Mohamad Yasin dkk dari Komisioner KIP Nagan Raya telah hadir dalam persidangan, dan Petrus pun sudah mendapat Surat Kuasa namun ditolak untuk mendampingi.
Atas penolakan tersebut Petrus merasa sebagai advokat telah telah mengalami kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1, ayat 2 dan Pasal 28 ayat 1 dan 2 UUD 45, yang pada pokoknya menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum”, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
Setiap orang berhak atas pengakuan hukum, perlindungan hukum dan kepastian hukum serta setiap orang berhak bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan hukum yang adil.
Menurut OK Jusli adanya ketentuan dalam pasal 458 ayat 6 tersebut telah merugikan dan membatasi profesi advokat serta merupakan pembatasan hak-hak konstitusional para advokat.
Senada, Rahmat Santoso dari KAI Jatim mengatakan adanya ketentuan tersebut membatasi ruang gerak profesi advokat yang sudah diatur oleh undang-undang.
“Ruang gerak advokat dibatasi dengan adanya kentetuan itu sehingga MK harus menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, ” ujar Rahmat yang juga menjabat Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI)
TPPA dalam petitum permohonannya memohon agar MK menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 458 ayat 6 khusus frasa “tidak dapat menguasakan kepada orang lain” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Rusdi Taher salah satu Pemohon menyatakan frasa tidak dapat menguasakan kepada orang lain harus dibatalkan karena MK pernah membatalkan suatu frasa sebagaimana dalam putusan MK Nomor 01/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014 saat MK membatalkan frasa suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan sebagaimana dalam Pasal 335 KUHP.
Selain itu, dalam Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 yang menafsir frasa empat pilar berbangsa dan bernegara. Natalia Patricia Sahatepi salah satu Pemohon menyatakan ketentuan tersebut merupakan norma yang tidak jelas, bias, multi tafsir, menimbulkan multi tafsir, perlakuan yang tidak adil dan tidak ada kesamaan di hadapan hukum.
Sidang sendiri hingga kini belum dijadwalkan oleh Kepaniteraan MK. (*/bp)