Foto: Frans Ramli, SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum ( LBH) Manggarai Raya, Pengacara Masyarakat Miskin di NTT dan Advokat Peradi

Hukrim

Tragedi di Borong Membuktikan Polisi Main Hakim Sendiri

By Bonne Pukan

September 23, 2017

NTTsatu.com – BORONG – Hilarius Woso (49), Warga RT 001, RW 001, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) ditembak pria yang mengaku polisi  pada 23 September 2017 pukul 02.00 dini hari di Lingko Dia, Kelurahan Ndora, Kecamatan Borong, Matim  dianggap prilaku polisi tersebut telah main hakim sendiri.

“Jika disimak awal mula kejadian yang menimpa korban  dengan seseorang yang diduga oknum anggota POLRI, sebetulnya tidak ada hal atau keadaan yang luar biasa. Hanya peristiwa Lakalantas ” kata Frans Ramli, SH Direktur Lembaga Bantuan Hukum ( LBH) Manggarai Raya, Pengacara Masyarakat Miskin di NTT dan Advokat Peradi.

Selain itu dia mengatakan, tidak adanya informasi bahwa korban menggunakan senjata tajam atau sejenisnya. “Kalaupun ada sedikit percecokan, itu wajar,” tandasnya.

Dalam situasi tersebut masih ada alternatif lain yang lebih beralasan dan masuk akal untuk menyelesaikan Lakalantas tersebut.

“Peristiwa tersebut menjadi sangat luar biasa sebab peristiwa lakalantas berujung pada tindakan penembakan oleh oknum anggota Polri  terhadap warga sipil Hilarius,” kata Ramli yang juga penasehat hukum Aliansi Jurnalis Media On Line (AJO) Manggarai.

Sebagai anggota Polri tentu sudah mengetahui secara pasti kapan senjata harus digunakan  “Hilarius bukanlah pelaku kejahatan atau tersangka dalam suatu kasus tertentu yang lansung ditembak begitu saja,” pungkas Ramli.

Dijelaskanya, kalaupun Hilarius diduga bersalah dalam kejadian lakalantas tersebut, biarlah pengadilan yang memutuskan bahwa Hilarius bersalah, bukan dengan tindakan main hakim sendiri seperti itu.

“Harus diingat juga bahwa terhadap tersangka atau pelaku kejahatan sekalipun, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir ketikka semua upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil,” jelasnya.

Sudah jelas diatur dalam Pasal 8 ayat (2)  dan Perkapolri 1 / 2009 terkait  penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia.

“Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas secara terlebih dahulu seperti memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya serta memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi,” urai Ramli.

Dia menjelaskan dalam kasus ini, tidak tampak adanya ancaman terhadap jiwa manusia.

“Walaupun menurut pelaku ada keadaan yang luar biasa, ada ancaman terhadap jiwa manusia, sebelum melepaskan tembakan, polisi harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku” jelasnya.

Ditambahkan Ramli, sebagai Direktur lembaga bantuan hukum bagi masyrkat kecil, pihaknya mendesak Polda NTT untuk turun melakukan penyelidikan atas kasus ini.

“Polda NTT harus memberi atensi khusus atas kasus ini sebab dapat menimbulkan trauma bagi masyarakat bila berhadapan dengan anggota kepolisian dan memberikan contoh yang buruk bagi masyarakat karena tindakan main hakim sendiri pada dasarnya tidak pernah dibenarkan secara hukum,” katanya. (mus)

Komentar ANDA?