NTTsatu.com – Banyak orang memandang rendah status perantau, karena lebih dikaitkan dengan menjadi pekerja kasar, keras dan “berhamba” pada yang kaya. Tapi bagi lelaki kelahiran Lamakera, pulau Solor, Flores Timur, 17 juli 1977 merantau dengan tujuan mengubah hidup harus muncul dari sebuah tekad didukung dengan perjuangan keras.
Ini ditunjukkan oleh Muhammad Masykur yang tidak pernah bermimpi menjadi Nahkoda kapal. Putra dari pasangan ayah H.Masykur.G.Songge dan Ibu Siti Saleha ini. Berangkat dari Lamakera menuju Kupang dan selanjutnya ke Jakarta dan meraih sukses di ibu kota negara ini.
“untuk menggapai sukses di tanah rantau memang bukan perkara mudah. Tapi kita harus tetap berani
dan bisa mengukur seberapa besar potensi yang kita miliki agar dapat memenangkan suatu persaingan,” katanya melalui jarigan telepon seluler beberapa waktu lalu.
Kisah dimulainya dari masuk dan tampat di Sekolah Dasar (SD) Inpres Lamakera, Solor, Flores Timur. Dari Lamakera, Masykur menuju Kupang dan melanjutkan sekolah tingkat pertama di MTs Negeri Kupang.
Lulus MTs tahun 1993, Masykur mengikuti tes masuk di STM Negeri Kupang namun dia gagal dalam seleksi masuk, karena itu dia memutuskan untuk tetap membantu paman berjualan di Kampung Solor.
“Tidak serta merta saya menikmati pekerjaan tersebut karena Ibunda selalu menasihati bahkan membujuk saya untuk melanjutkan Sekolah dan saya sangat luluh dengan ketulusan seorang ibu sehingga tahun 1994 saya memutuskan untuk memgikuti tes masuk di STM Negeri Kupang dengan jurusan Teknik pengerjaan Logam (TPL),” kenangnya.
Masykur menguraikan, dengan doa tertulus seorang ibu dia setelah tamat STMN Kupang, dia mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Ternyaya dia lulus seleksi masuk dan mendapatkan rekomondasi khusus dari sekolah untuk melanjutkan kuliah di UGM Yogyakarta.
“Namun apa daya, saya harus memikirkan kedua orang tua saya yang ekonominya sangat minim walaupun Ayah saya seorang guru Agama namun penghasilannya tidak akan mencukupi biaya SKS saya di UGM terkemuka di Jogjakarta itu,” katanya.
Masykur akhirnya memutuskan untuk meninggakan Kupang dan merantau ke Ibu Kota Jakarta. Disana dia bertemu dengan Mohammad Jafar Kansong Songge yang merupakan kapten kapal dan memintanya untuk bekerja di kapal dengan mengurus buku pelaut dan surat keterampilan pelaut ( SKP ) serta paspor, awal bekerja di kappal asistug/kapal tunda yang bernama TB.PERKASA 07 milikPT.Titian Samudera Shipping dengan jabatan Jurumudi.
“Tahun 2002 saya mengikuti Diklat perwira ANT.V Antares Semarang dan pada bulan agustus mendapat ijasah pelaut. Setelah itu mendapat tawaran menjadi mualim 1 di kapal KM.Kurnia Jaya abadi ll di perusahaan pelayaran Pontianak. Setahun kemudian saya pindah ke perusahaan Pelayaran PT.Victoria Internusa Perkasa (VIP) menjadi mualim 1 di TB.Fajar Jaya dengan route Jakarta To Irian membawa material untuk pembangunan Gas terbesar di asia ( LNG Tangguh ). Selang beberapa bulan Owner PT.VIP Mutasikan kan saya ke kapal LCT. Maju jaya menjadi Mualim 1 selama 1.8 tahun saya belajar manajement hingga olah gerak sandarkan kapal, setelah sudah bisa sandarkan kapal besar saya memutuskan berhenti bekerja karena saya mau melanjutkan sekolah untuk meningkatkan ijazah saya agar bisa memenuhi persyaratan menjadi seorang captain/Nakhoda di kapal,” tuturnya.
Pada Agustus tahun 2009 dia melanjutkan sekolah pelayaran untuk meningkatkan ijazah ANT.IV di BP3IP (Balai Besar Pendidikan Penyegaran dan Peningkatan ILmu Pelayaran ) di Jakarta, Dalam waktu 1 tahun dia mendapatkan ijasah sebagai Nahkoda Kapal.
“Dan saat ini saya bekerja sebagai Nahkoda pelayaran PT.MANDIRI LINE, Jakarta yang melayani proyek pembangunan gas LNG Tangguh terbesar di Asia yang terletak di teluk Bintuni Irian, dan pembangunan proyek jalan tol Jakarta,” akunya.
Dengan keuletannya hingga berhasil ini, Masykur sangat berharap agar anak-anak NTT tidak boleh ragu untuk merantau di tanah orang karena semua itu akan membuat lebih bijak dalam berpikir.
“Jika kita tidak keluar merantau. potensi atau skill yang ada pada kita tidak bisa kita eksplorasikan dengan baik. Tidak ada perusahan atau industri besar di NTT yang bisa kita harapkan, karena itu kita perlu berpiir besar,” katanya.(Ambu)