Untung Rugi Membuat Laporan Polisi (Sebuah Percakapan Reflektif)

0
1035
Oleh: Bediona Philipus
(Warga Kabupaten Lembata)

(Tulisan ini sudah  dimuat di akun facebook penulis. Judul aslinya: Membuat Laporan Polisi, Percakapan dengan Diri Sendiri. Boleh dibilang tulisan ini sebuah wawancara imajiner tetapi nysta falam hidup keseharian sebuah negara hukum seperti Indonesia ini. Patut menjadi sebuah percakapan refleksi. Redaksi)

SEHARI setelah ulang tahunnya, Mei bertengkar dengan temannya yang dari Kedang. Ewil namanya. Siang itu saya istirahat di kamar. Mei teriak, “Saya lapor polisi. Ngko sudah menghina saya”. Saya bertanya, “kenapa? Ada apa? Koq duduk2 teriak “lapor polisi”. Cukup Bapa yang masuk Lapas Waikilok karena perbuatan lapor-melapor. Jangan ada lain yang masuk penjara karena perbuatan, yang dasarnya karena amarah, benci atau semacamnya. Toh Bapa masuk penjara tak ada gunanya. Tak ada perubahan yang terjadi. Malah terkesan semakin menjadi-jadi.

Untuk apa orang masuk penjara, tapi perubahan tidak juga terjadi. Artinya pemenjaraan melahirkan sebuah kesia-siaan. Hukum menjadi alat untuk menghukum orang yang tidak bersalah.

Kasus ini tidak berakhir di situ. Tanpa sengaja saya merefleksikannya. Melapor atau tidak melapor. Apa untungnya melapor dan apa  ruginya tidak melapor.

Ego (E): Saya mesti melapor kasus ini ke polisi.

SE (Superego): Lapor ke polisi ? Apakah itu satu-satunya cara menyelesaikan masalah? Atau hanya salah satu ya? Itu baru soal pilihan cara menyelesaikan masalah. Belum soal risiko dari pilihan cara menyelesaikan masalah.

Jika nanti dibilang, kekanak-kanakan, kan yang malu ya saya yang melapor? Mau taro di mana muka ini. Kata orang Nagi, “bua muka tebal jo ka”. Sedikit-sedikit lapor polisi. Sedikit-sedikit lapor polisi. Itu kelakuan anakanakTidak mau keasyikannya diganggu.

Dulu minta perlindungannya kepada ortu. Sekarang, ya kepada polisi. Apalagi ada pasal-pasal karet. Bisa dipasang kasus apa saja.

Yang melapor lupa kalo  dirinya sudah tua. Punya banyak jabatan.  Artinya sudah matang. Sudah biasa menghadapi kasuskasus begini. Dan mestinya punya pengalaman sendiri menghadapi dan mengatasinya.

Mestikah kelakukan masa kanak-kanak ini saya ulangi? Hehe . . .berarti benar, saya sungguh kekanak-kanakan. . . Hehe . . . (Saya menertawakan diri sendiri). Bahkan lebih dari kekanak-kanakan.

Bukankah membuat laporan polisi untuk kasus seperti ini  justru memberi kesan bahwa pikiran dan mata saya hati buta, atau dibuat buta atau pura2 buta?

Syukur . . .akhirnya pikiran saya mulai terbuka, dan terbersit pemikiran alternatif. Rasanya pandangan lebih jernih. Bening. Melapor ke polisi itu bukan satu-satunya cara. Ini kan delik aduan. Baru diproses  jika dilaporkanTidak dilaporkan ya . . . tidak diproses. Begitu sederhana persoalannya.

E (Ego): Bagaimana pun saya tetap akan membuat laporan polisi. “Biar ada efek jera pada teman anak saya? Biar dia jadi lebih bermartabat?” Tidak sebarangan mengatai orang “helo munak”. (Tapi harap orang tidak tau kalo sesungguhnya saya sedang galau, kalut. Bahkan takut. Takut kalo orang bener-benar tau siapa saya dan seperti apa karakter dan ulah/kelakuan saya sesungguhnya).

SE: “Biar orang lebih bermartabat”. Hehe . . . . Luar biasa, berpikir orang lain bermartabat. Lalu saya sendiri? Sudahkah saya sendiri bermartabat? Bukankah sesungguhnya saya justru sedang mengatakan bahwa yang tidak bermartabat itu saya, ketika saya membuat laporan ke polisi? Melemparkan kesalahan  saya, dalam mendidik anak kepada orang lain. Itukah yang disebut bermartabat? Dan orang-orang lain dengan mata telanjang melihat bahwa saya sedang melakukan perbuatan kekanak-kanakan. . .hehe . . .

Tidak adakah cara lain yang justru jauh lebih bermartabat dari sekedar membuat laporan polisi? Bukankah pernyataan teman anak saya perlu direfleksikan? Apakah benar anak saya seperti “munak”? Jika benar, atau ada benarnya, apakah hukum merupakan cara penyelesaiannya? Membuat laporan polisi tidak bedanya dengan “mencari kambing hitam”.

Masalah sesungguhnya justru tidak terjamah. Karena itu sudah pasti tidak terselesaikan. Inikah pilihan cara saya dalam menyelesaikan masalah? MENYELESAIKAN MASALAH TANPA MASALAHNYA TERSELESAIKAN. Itukah yang saya mau? Atau jangan2 saya justru sedang mengharapkan orang lain dihukum atas kesalahan saya?

Anak saya dikatai “munak” alias monyet oleh temannya. Lalu anak saya bilang, “jika kamu bilang saya keturunan monyet bapa dan Mama saya juga monyet?

Jawab teman anak saya, “itu kan penafsiranmu. Maksud saya sih sebenarnya yang berkelakuan seperti munak itu kamu”.

(Saya berpikir  keras Jangan2 pernyataan teman anak saya justru ada benarnya. Kelakuan anak saya dalam  hal tertentu, memang tak beda dengan kelakuan “munak”. Akhirnya, saya coba melihat kepada diri dan kepada anak sendiri. Melihat ke kelakukan anak saya, yang disoroti temannya. Dan tentu kelakuan anak saya adalah hasil didikan saya, ortunya. Artinya juga melihat ke dalam diri sendiri. Sebagai  ayah, saya bertanggungjawab atas pendidikan akhlak, atau pendidikan mental anak saya.  Moral anak saya. Budi anak saya).

Jika anak saya jadi sumber masalah, apakah membuat laporan polisi itu penyelesaiannya? Kan yang bakal  diproses di kepolisian bukan anak saya sebagai sumber masalah, melainkan temannya, yang menyatakan tentang kelakuan sesungguhnya dari anak saya.

Hehe . . .kasian ya. . . .hukum kita bukan memihak pada orang benar, tetapi memihak kepada orang yang membuat laporan polisi. Hehe . . . .

Sudah tau kelemahan hukum, masihkah saya memilihnya menyelesaikan masalah saya? Menyelesaikan masalah  moralitas/akhlak/budi pekerti anak saya dengan hukum? Hehe . . . .

Memilih hukum artinya menempatkan orang lain (yang menyatakan kebenaran) sebagai “kambing hitam” atas persoalan yang diciptakan anak saya? Sungguh tak adil.

Saya akan beri tahu kepada anak saya tiga hal:
1). Jika tidak mau dikatakan “helo munak”/seperti monyet, hendaknya jangan berlaku seperti munak.
2). Jika toh tidak merasa pernah berbuat dan berlaku seperti monyet, mengapa musti menanggapi? Kata Gus Dur, “gitu aja koq repot”. toh kamu (anak saya), tidak akan benar-benar menjadi munak. Itu kiasan saja. Jika benar, mestinya bersyukur, kita sudah diingatkan pernah berlaku sebagai kakek nenek kita munak. Jangan lagi membuat masalah baru untuk orang dengan melapornya ke polisi.
3). Hendaknya jangan suka membebani polisi, dengan perbuatan yang juga sebenarnya tidak disukainya, jika polisi juga bisa memilih. Polisi juga manusia, punya relasi dan punya hati. (*)

Komentar ANDA?