Wacana Sekolah Lima Hari Perlu Ditinjau Kembali

0
922
Foto: Gubenur NTT, Frans Lebu Raya saat memberikan keterangan pers

NTTsatu.com – KUPANG – Gubenur NTT, Frans Lebu Raya menyatakan, rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera menerapkan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah pada tahun ajaran 2017/2018 [erlu dipertimbangan dengan baik.

“Untuk sekolah hanya lima hari saja itu mungkin cocok di kota-kota besar, tetapi tidak cocok untuk sekolah di kampung-kampung. Membiarkan anak-anak usia sekolah bebas selama dua hari yakni Sabtu dan Minggu sungguh sangat tidak baik. Karena itu pemerintah pusat perlu mempertimbangkan secara baik sebelum rencana ini dilaksanakan,” kata Gubernur kepada wartawan di Kupang, Selasa, 13 Juni 2017.

Dia mengatakan, anak-anak usia sekolah mulai dari SD hingga SMA/SMK mereka perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Pemerintah sebaiknya memikirkan perbakan kurikulum pendidikan yang baik seperti memasukan mata pelajaran Pancasila mulai dari SD hingga SMTA sehingga anak-anak bangsa ini jangan melupakan Nilai-nilai Luhur Pancasila itu.

Untuk diketahui, kebijakan Kemendikbud itu

merupakan implemrentasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

“Peraturan terkait hal tersebut segera diterbitkan dan segera kita sosialisasikan,” ungkap Mendikbud Muhadjir Effendy lewat keterangan tertulisnya, Senin (12/6/2017).

Kelima nilai utama yang akan diimplementasikan ialah religius, nasionalis, gotong-royong, mandiri, dan integritas. Dia mengatakan program PPK bukan berarti siswa harus belajar selama delapan jam di kelas.

“Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen, dan pengetahuan 30 persen,” terang Muhadjir.

Dalam program PPK ini, siswa didorong melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti serta keterampilan abad ke-21. Bukan hanya di sekolah, siswa juga akan menjadikan lingkungan, seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, museum, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya, sebagai sumber belajar.

Guru akan diminta mengurangi ceramah di kelas dan diganti dengan aktivitas positif, seperti mengikuti madrasah diniyah bagi siswa muslim. Guru wajib mengetahui dan memastikan proses siswanya dalam mengikuti pelajaran agama sebagai bagian penguatan religiositas.

Guru wajib memantau siswanya agar terhindar dari pengajaran sesat atau yang mengarah pada intoleransi. Dalam kondisi ini, madrasah diniyah akan diuntungkan karena menjadi salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam penguatan nilai religius dan pembentukan karakter.

“Jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari. Nantinya guru akan mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode, seperti role playing, proyek. Dan dari bermacam-macam sumber belajar, bisa dari seniman, petani, ustaz, pendeta. Banyak sumber yang bisa terlibat, tetapi guru harus tetap bertanggung jawab pada aktivitas siswanya,” ujar dia. (bp/*)

Komentar ANDA?