Wai Kating, Potensi Wisata yang Masih Tersembunyi
KABUPATEN, Lembata memiliki obyek wisata andalan yang sudah mendunia adalah perburuan dan penangkapan ikan paus secara tradisional yang terletak di desa Lamalera, kecamatan Wulandoni yang berjarak sekitar 40-an km dari kota Lewoleba. Mata dunia memang tertuju ke Lamalera karena hanya satu-satunya kampung di Selatan Lembata ini yang masih tetap pempertahankan tradisi penangkapan ikan paus dengan alat tangkap yang masih sangat tradisional.
Ketika mata wisatawan hanya tertuju ke Lamalera, maka obyek wisata lainnya nyaris terlukapan. Obyek wisata yang punya nilai jual lainnya di Lembata adalah Wai Kating yang terletak di pinggir kampung Boto, desa Labalimut, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata.
Wai Kating yang artinya air panas (wai = air, kating = panas) yang ada di pinggir kampung Boto itu beraroma belerang yang sangat menyengat. Masyarakat setempat mengakui, air panas berorama belerang itu merupakan luapan magma dari gunung Labalekan yang merupakan sebuah gunung tertinggi di Kabupaten Lembata. Kisah ini bisa dibenarkan, karena di gunung Labalekan ada bukit belerang yang terletak di pertengahan gunung Labalekan dengan bau sangat mengyengat.
Wai Kating yang terletak sekitar 2 kilo meter dari Kampung Boto desa Labalimut ini sejak dulu dijadikan tempat penyembuhan aneka penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Tidak jauh dari sumber air panas beraroma belerang itu, ada juga sumber air dingin yang kemudian menyatu dengan air panas di ujung kolam air panas itu.
Penderita penyakit kulit setelah berendam di kolam air panas untuk beberapa waktu lamanya, setelah itu mandi di sungai yang bersebelahan dengan sumber air panas tu untuk menghilangkan bau belerang. Dalam waktu beberaa hari kemudian penyakit kulit yang diderita itu akhirnya sembuh.
Lokasi wisata Wai Kating memang asri, masih asli dan belum tersentuh tangan-tangan trampil. Di lokasi itu air panas bersuhu ledih dari 30 derajat Celcius itu mengalir dari cadas. Terdapat dua aliran yang masuk ke kolam masing-masing. Kolam pertama sangat panas dan kolam berikutnya suam-suam. Namun, ketika kita mencelupkan kaki atau tangan ke lokasi yang sangat panas itu, tangan atau kaki tidak melepuh.
Di kolam kedua kita bisa mandi sepuas-puasnya sementara kolam pertama, hanya untuk penyembuhan aneka penyakit kulit seperi kudis dan lain sebagainya.
Menjangkaui lokasi Wai Kating, memang mudah. Namun belum ada jalan raya hingga lokasi yang selalu dikunjungi wisatawan domestik, terutama warga yang ingin menyembuhkan penyakit kulit yang menderanya. Dari Boto dengan kendaraan menyusuri jalan menuju desa Atawai. Sekitar satu kilo meter keluar dari kampung Boto, pengunjung akan memarkir kendaraannya dan menyusuri jalan setapak memasuki hutan tanaman kopi dan kemiri warga hingga mencapai lokasi Wai Kating yang asri tersebut.
Kepala Desa Labalimut, Yohanes Wujon beberapa waktu lalu mengakui, pihaknya sudah berusaha maksimal mungkin untuk membuka jalan raya hingg lokasi Wai Kating yang berjarak sekitar satu kilo meter juga dari pinggir jalan raya jurusan Boto-Atawwur, namun para pemilik lahan tidak ingin memberikan lahannya secara gratis. Mereka meminta ganti rugi, karena di atas lahan itu sudah ditanami aneka tanaman perdagangan antara lain, Kopi, kemiri dan kelapa.
“Masyarakat sulit melepaskan lahannya secara gratis, mereka butuh ganti rugi. Karena persoalan itu maka jalan raya ke Wai Kating hingga kini belum bisa dibangun,” kata Yohanes Wujon.
Salah seorang pemilik lahan, Lazarus Ketoj yang ditemui dikediamannya di Boto, beberapa waktu lalu mengakui, dia bersama sekitar lima pemilik lahan tidak bisa menyerahkan lahan mereka untuk pembukaan jalan menuju lokasi Wai Kating.
Pasalnya, diatas lahan itu aneka tanaman komoditi seperti kemiri, kopi dan kelapa sudah berbuah dan telah menjadi salah satu sandaran hidup ekonomi keluarga mereka selama ini.
“Kami siap menyerahkan lahan itu, tetapi paling kurang kami minta ganti rugi atas tanaman kami yang akan dikorbankan untuk pembukaan jalan tersebut,” kata Lazarus.
Mantan Kepala Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Lembata, Wens Ose yang dihubungi mengakui, program pembukaan jalan menuju Wai Kating itu sudah disiapkan sejak tahun 2010 lalu ketika dia masih menjabat sebagai Kepela Dinas pariwisata Kabupaten Lembata. Namun hambatannya, masyarakat meminta ganti rugi atas lahan dan aneka tanaman mereka, sementara Pemda Lembata tidak memiliki anggaran untuk tujuan dimaksud.
“Kami sudah melakukan pendekatan, namun mereka meminta harus ada ganti rugi. Kita tidak bisa penuhi permintaan itu karena tidak ada dana yang disiapkan untuk biaya,” kata Wens yang juga berasal dai Boto.
Wens mengaku, atas loby-loby yang dibangunnya ke pusat, maka pada tahun 2010 lalu ada kucuran dana untuk pembangunan desa wisata termasuk Boto dengan obyek wisatanya Wai Kating tersebut. Karena ada masalah penolakan dari pemilik lahan, maka program yang dibiayai dua tahun berturut-turut itu akhirnya dialihkan ke desa tetangga yakni desa Belabaja. Kucuran dana sebesar Rp l70 juta itu terpaksa dimanfaatkan warga desa Belabaja untuk kegiatan kuliner seperti kelompok kursi rotan yang sekarang sudah mulai maju dan pembukan sanggar di desa Belabaja. (bop)