Adonara – Prancis: Kisah Cinta Maerie Lecornu dan Marselinus Menasa Beda

0
1505

Kisah cinta anak Adonara bernama Marselinus Menasa Beda dengan nona Prancis Maerie Lecornu sungguh melambung tinggi membuat dunia maya bergetar. Kisah ini kemudian diramu sahabatku Robert Bala kemudian dimuat selengkapnya di media ini.

 

Tidak pas menyandingkan ‘Adonara’ dengan Perancis. Adonara bukan negara, bukan propinsi, dan bahkan bukan Kabupaten. Ia hanya merupakan satu pulau dengan luas 509 km2.

Tetapi nama itu bisa ‘diterima’ dan ‘masuk akal’ agar lebih mengurucutkan pria hitam manis asal Lamahelan Adonara, Marselinus Menasa Beda. Pria berumur 28 tahun itu baruasan (25 November 2019) mengikat perkawinannya dengan bule asal Perancis, Maerie Lecornu, berusia 22 tahun.

Awal pertemuan Marie-Marsel terjadi di sebuah acara pemakaman. Marie yang saat itu bekerja sebagai pekerja sosial dengan para suster di satu Rumah Sakit Gereja hadir. Karena acara kedukaan, Marie, mengikuti ibu/gadis, mengenakan sarung tenun Adonara.

Foto: Pernikahan Marie-Marsel, diberkati oleh Uskup Pangkal Pinang, Mgr Adrianus Sunarko O.F.M

Saat pertama kali melihatnya, hati Marsel tergerak karena gadis bule mengenakan ‘kewatek’ (sarung) asal Adonara, tempat asal Marsel. Pandangan awal itu kemudian secara kebetulan terulang lagi di belakang Gereja saat membawa mayat ke sana.

Di tempat itu, banyak saudara Marsel yang ingin berfoto dengan si bule. Marsel pun diminta mengabadikan foto dari pria-pria yang lagi berlomba-lomba foto dengan ‘bule’.

Saat memotret itulah, Marie merasakan segera ada ‘keanehan’ pada Marsel. Ia melayani orang lain untuk berfoto, sementara ia malu-malu meminta untuk ikut berfoto. Marie pun malah menawarkan agar berfoto dengan si pemuda pemalu itu. “Saya lihat matanya itu seperti jatuh cinta kepada saya. Cuma dia malu mengungkapkan. Jadi saya tarik dia untuk berfoto bersama,” demikian ungkap Marie seraya tersenyum ketika ditanya wartawan Batam News.

Dengan waktu, terlihat Marsel tidak mengobral janji tetapi dengan tindakan. Meski hujan, ia rela berkorban menjemput dan mengantar Marie ketika dibutuhkan. Itu sudah Marsel tunjukkan di saat acara penguburan itu. Melihat Marie yang ingin ikut pemakaman tetapi tidak ada yang mengantar, Marsel pun menawarkan bantuan yang segera disambut Marie.

Kelembutan, keakraban, dan kesederhanaan itu tentu tidak lepas dari pengaruh budaya kampung halaman Lamahelan. Orang-orang dari wilayah ini, terkenal sangat akrab dan spontan.

Dua kali saya ke Lamahelan / Senadan, dan merasakan hal itu secara sangat hidup. Di setiap sudut kampung, akan terdengar suara penuh keakraban menyapa siapapun termasuk orang yang belum dikenal :  “kereu ama”(untuk pria) “kereu ina” (untuk wanita).

Ia mengungkapkan sapaan persaudaraan dengan penuh penghargaan bagi siapapun yang ada. Hal itulah yang barangkali juga melekat dalam diri Marsel, sebagai pria Lamahelan Adonara. Hal kecil itulah yang juga barangkali membuat wanita ‘bule’ itu pun terkesan. Ia tersapa bukan karena hal luar biasa, tetapi hal kecil, menyapa dengan tulus dan yang dibalas ternyata cinta yang mengantar mereka ke perkawinan.

Pulang Lamahelan (Adonara)

Saat ditanya, di mana mereka akan menetap, apakah setelah menikah (25 November) dan resepsi (30 November), Marsel yang sangat ingat kampung halaman berucap bahwa ia mau pulang ka Lamahelan bersama istrinya.

Di sana, tentu Marie akan mengalami sapaan ‘kereu ina’, seperti wanita Lamahelan pada umumnya. Rupanya hal itu pun tidak akan jadi kesulitan, karena seperti diungkapkan Paulus Uran, guru di SD Ignatius Loyola Rempang, tempat Marie pernah mengajar bahasa Inggris: “Marie orangnya ulet, fasih berbahasa Indonesai, dan suka membantu anak-anak murid yang tinggal di asrama”. Proses pulang kampung karena itu akan menjadi mudah bagi Marie yang luwes dan supel itu.

Setelah dari kampung,  kata Marsel, pasti mereka akan ke Perancis, mengunjungi keluarga sang istri. Tentang kepastian menetap di mana, masih dalam perembukan bersama. Semuanya pasti mempertimbangkan banyak hal, demikian katanya dengan lugu.

Yang paling utama adalah cinta yang tulus. Ia adalah bahasa pertama dan utama. Meski sampai saat ini Marsel belum tahu sama sekali bahasa Perancis dan bahasa Inggris pun ‘patah-patah’, tetapi ia dan Marie yakin bahwa cinta tulus itulah yang menjadi jaminannya.

Tentang foto perkawinan yang sempat viral di media sosial, Marsel merasa sangat senang. Ia merasa senang karena cintanya itu bisa jadi perhatian banyak orang dan itu berarti sebagai saksi dan dukungan yang luar biasa.

Sementara itu Marie merasa terkejut. Baginya, di Perancis, perkawinan antar-etnis itu biasa.  Di banyak tempat kita melihat pria dan wanita dari berbeda etnis bersatu dalam perkawinan. Hal ini saya alami secara langsung saat berada di Paris dua puluh tahun lalu. Di teman terlihat anak-anak berbeda etnis berada bersama tanpa perbedaan yang mencolok. Mereka anggap hal itu biasa (hal yang bagi kita masih terasa aneh).

Perancis malah menjadi negara yang sangat terbuka. Dengan semboyan: Liberté (kebebasan) égalité (persamaan), fraternité (persaudaraan). Di sana sudah terlihat orang Perancis (cowo/cewek) memiliki pasangan berbeda etnis. Bagi mereka, warna kulit bukan ukuran. Mereka menukik lebih dalam kepada keikhlasan dan ketulusan.

Pernikahan yang disaksikan sendiri oleh Uskup Pangkal Pinang, Mgr Adrianus Sunarko O.F.M, bagi Marsel dan Marie merupakan sebuah berkat. Demikian juga sambutan warga net juga merupakan saksi yang sekaligus mendoakan supaya ikatan cinta mereka tidak hanya ‘viral’ tetapi juga berlangsung sampai keabadaian.

Pengalaman Marsel dan Marie, bisa saja menyadarkan bahwa tidak susah juga sebenarnya mencari istri ‘bule’. Asal tulus. Di sana ada ketulusan, di situ cinta sejati bisa hadir.

Tentang hal ini, Paul Uran dalam komentarnya memohon juga dukungan: “Inilah namanya cinta… Mari kita dukung mereka berdua dengan doa2 kita dan semoga ada yang menyusul lagi”. (Dikisahkan secara baru, sesuai pengalaman penulis pernah ke Lamahelan dan Paris, Robert Bala, 28 November 2019)

Komentar ANDA?