Dongkrak Pendidikan NTT: Bongkar dan Kelola Peta SDM Peserta Didik

0
2393

Oleh:  Hipolitus Kristoforus Kewuel

Kompas.com 13/12/2017 pernah menulis pernyataan Menteri Pendidikan kala itu, Muhadjir Effendy yang cukup menohok perihal kualitas pendidikan NTT.

Ada hasil survey dari Program for International Students Assessment (PISA) yang mengukur kemampuan matematika (maths), ilmu pengetahuan (science), dan kemampuan membaca (reading) peserta didik. Indonesia menempati ranking yang rendah.

Menanggapi hasil survey tersebut, Sang Menteri berkomentar; “Jangan-jangan sampel dari survei ini adalah peserta didik asal NTT”.

Komentar ini mengundang dua jenis reaksi masyarakat NTT; reaksi yang menyayangkan pernyataan Muhajir Effendy dan reaksi yang memandang pernyataan sang menteri sebagai pemicu bagi peningkatan kualitas pendidikan NTT.

Tulisan ini tidak dalam posisi memberi reaksi karena semua itu sudah lewat. Saya lebih ingin memberi alternatif pandangan bagaimana sebaiknya kualitas pendidikan NTT dibangun.
Kualitas pendidikan itu bukan sesuatu yang statis yang kalau pernah diraih lalu langgeng selamanya. Prestasi yang pernah diraih oleh sekelompok peserta didik tertentu akan segera berlalu dengan berakhirnya masa studi mereka.

Maka, yang perlu diupayakan adalah cara memproduksi prestasi-prestasi peserta didik tersebut. Dengan itu, peserta didik boleh berganti, tetapi cara memproduksi prestasi akan langgeng kalau dibangun di atas dasar yang kuat.
Memang kualitas input peserta didik juga berpengaruh, tetapi metode dan cara mengolah pendidikan yang jitu, itu lebih penting dan ini sangat tergantung pada cara pandang atau pola pikir pengelola sekolah tentang harus dimulai dari mana pengembangan peserta didik itu.

Menjalankan sekolah dengan aturan baku dari pemerintah itu baik, tetapi kalau hanya itu, kita hanya menjadi robot yang disetel dari Jakarta. Dalam hal teknis penggunaan dana misalnya, itu boleh, tetapi menyangkut hal yang substansial dalam proses pendidikan, perlu ada intervensi yang khas di daerah.

Kita yang lebih tahu situasi dan kondisi anak-anak didik kita di lapangan. Kita yang lebih paham mereka seperti apa dan harus diapakan. Aturan dari pusat itu hanya panduan yang bersifat sangat umum. Kita dan anak-anak kita butuh sentuhan khusus supaya guru senang mengajar dan peserta didik nyaman belajar.

Pemikiran ini juga tidak bisa berlaku umum. Masing-masing pengelola sekolah perlu menerjemahkan itu dalam situasi konkretnya masing-masing. Tergantung apa? Tergantung situasi dan kondisi peserta didik yang mau dikelola.

Peserta didik adalah pelanggan yang harus dilayani dengan baik. Pelayanan yang baik untuk mereka harus didasarkan pada apa yang mereka miliki sebagai modal pengembangan. Sekolah tidak bisa melakukan pendampingan tanpa memperhatikan apa yang ada pada mereka. Dalam cerita kitab suci katolik, Yesus memperbanyak roti di padang gurun tidak dari ketiadaan, tetapi dari apa yang dibawa oleh orang-orang yang mengikutinya.

Peserta didik itu manusia yang punya jiwa.

Mereka sudah selalu punya sesuatu yang perlu kita jadikan patokan dalam melakukan pendampingan pendidikan. Mereka bukan manusia tanpa apa-apa.
Petakan Apa yang dimiliki Peserta Didik

Di sekolah, proses ini sudah lazim dilakukan. Di sana ada konselor sekolah tetapi juga ada keterlibatan kerja psikolog yang sangat kuat.
Konselor sekolah bekerja dengan menggunakan alat-alat non tes, psikolog bekerja dengan menggunakan alat-alat tes.

Kedua cara kerja ini saling melengkapi. Konselor melakukan deteksi fisik, psikolog melakukan pemeriksaan psikis. Konselor melihat dari luar, psikolog memeriksa dari dalam.

Kedua kerja deteksi ini perlu dipetakan dengan baik untuk mengenal lebih persis siapa para peserta didik itu satu per satu. Konselor sekolah bekerja dengan berbagai jalan.

Dengan angket tertulis, konselor menggali berbagai informasi peserta didik tentang latar belakang keluarga, jarak rumah dengan sekolah, jumlah saudara yang menjadi tanggungan orangtua, bahkan pekerjaan dan pendapatan orangtua untuk membaca kekuatan pembiayaan.
Dengan wawancara, konselor mendapat kesempatan untuk melakukan cross check dan pendalaman atas data angket. Dengan catatan autobiografi, konselor mendapat gambaran tentang garis besar sejarah hidup masing-masing peserta didik.

Dengan kartu pribadi dan daftar cek masalah (DCM), konselor mengikuti perjalanan masing-masing peserta didik dengan segala dinamika jatuh dan bangunnya.

Dengan kunjungan rumah, konselor memastikan bagaimana semua data itu terelaborasi dalam kehidupan nyata di keluarga. Demikian seterusnya, masih ada banyak alat non tes di tangan konselor sekolah yang bisa digunakan untuk memperkaya data tentang peserta didik.

Singkatnya, melalui alat-alat kerja non tes, konselor sekolah memiliki bahan untuk membuat peta tentang masing-masing peserta didik. Bentuknya bisa catatan laporan konselor sekolah yang juga bisa dilengkapi dengan data-data grafis yang diperlukan.

Psikolog melakukan pekerjaannya dengan menggunakan alat-alat tes yang sudah terstandart. Di luar itu, psikolog bisa terjerumus ke dalam tindakan mall praktek.

Terlepas dari alat tes apa yang dipakai karena setiap psikolog dan lembaga psikologi memiliki kombinasi alat yang bervariasi, pada umumnya tes psikologi mengungkap beberapa aspek yang sama.

Ada kelompok alat tes untuk mengungkap kecerdasan intelektual (IQ), ada kelompok alat tes untuk mengungkap kecerdasan emosi (EQ), ada kelompok alat tes untuk mengungkap kecerdasan sosial, ada kelompok alat tes untuk mengungkap kecerdasan spritual (SQ), ada kelompok alat tes untuk mengungkap minat dan bakat, serta ada kelompok alat tes untuk mengungkap kapasitas kepribadian seseorang.

Kelola Apa yang Dimiliki Peserta Didik

Dengan ini, kita mendapat gambaran bahwa manusia itu sangat kompleks. Ia tidak bisa hanya hidup dari kemampuan intelektualnya, tetapi perlu dikombinasi dengan kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, minat dan bakat, serta aspek-aspek kepribadian.

Dengan begitu, kalau sekolah ingin unggul, diperlukan semua aspek ini berkembang secara seimbang. Kalau intelektual kita lemah, sebagaimana yang disindir sang menteri, kita masih punya banyak aspek lain yang bisa dikembangkan.

Kita punya hati yang tulus, pribadi dan emosi yang sudah diasah oleh kerasnya perjuangan hidup. Itu patut kita kembangkan sebagai kekuatan. Sekolah perlu membuka mata untuk pengembangan aspek-aspek itu.

Kesuksesan hidup tidak hanya didominasi oleh orang yang IQ-nya tinggi. Justru hari ini, mayoritas orang yang berhasil dalam hidup adalah mereka yang bisa mengolah emosi dan menata kepribadiannya dengan baik.

Berlomba kecerdasan intelektual dengan tekanan pada ilmu-ilmu eksak, tentu kita harus rendah hati. Masa-masa the golden ages kita kurang mendukung untuk tingkat kecerdasan intelektual yang baik.

Tidak banyak orang kita yang unggul di bidang itu, tetapi mayoritas dari mereka sangat berkembang dalam bidang sosial humaniora.

Di bidang keagamaan, budaya, dan kerja sosial, SDM kita sangat mumpuni. Itu menandakan bahwa bidang sosial humaniora adalah bidang yang cocok untuk lebih dikembangkan. Tidak ada cara lain kecuali hal tersebut dimulai dari pendidikan di sekolah.

Di sekolah, data-data ini baik hasil tes maupun non tes perlu dianalisis dan dibuatkan catatan untuk masing-masing peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Melihat dan mendiskusikan data-data ini antara guru dan orangtua menjadi agenda penting juga. Tujuannya supaya guru dan orangtua sama-sama paham situasi peserta didik.

Guru mengerti bagaimana seharusnya melakukan pendekatan di kelas, orangtua menjadi paham apa yang harus dilakukan untuk mendukung anaknya di sekolah sekaligus menyadari peran mereka di masa lampau yang telah membentuk karakter anak mereka.

Untuk keperluan sekolah, catatan-catatan itulah yang sebaiknya diberikan kepada masing-masing guru sebagai pegangan dalam mendampingi peserta didik.

Dengan begitu, masing-masing guru dalam menjalankan tugasnya memiliki panduan bagaimana seharusnya memperlakukan setiap peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Demikian pula, data dapat menjadi panduan dan bahan pertimbangan bagi guru dalam melakukan penilian kualitatif. Semakin banyak data, semoga semakin membantu guru untuk bersikap obyektif dan semakin mendekati sempurna dalam penilaian dan pendampingan.

Kuncinya, data menjadi faktor penting dalam pendampingan di sekolah. Data menjadi panduan kerja berhadapan dengan manusia yang kompleks dan abstrak. Data menjadi alat kontrol sehingga guru tidak bertindak sewenang-wenang.

Bahwa ada kelemahan dalam setiap model assessment, itu tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk bekerja di atas dasar data. Setiap model assessment adalah capaian terbaik ilmu pengetahuan yang perlu diapresiasi. Tugas kita adalah memanfaatkannya dengan baik.
Itulah salah satu jalan alternatif yang bisa kita lalui untuk mendongkrak kualitas pendidikan NTT.
Mendampingi peserta didik dengan data, semoga mengantar mereka untuk menghayati masa “belajar” sebagai passion dan bukannya sebagai beban yang menindih hidup masa muda mereka.
Menghayati “belajar” sebagai passion karena peserta didik didampingi sesuai potensinya adalah pintu masuk menuju pendidikan NTT yang berkualitas.

Dalam atmosfir itu, peserta didik bisa optimal mengekspresikan diri karena mereka menghayati “belajar” bukan sebagai paksaan, tetapi sebagai cara menikmati hidup yang khas dan menyenangkan.

==========

Penulis adalah  Dosen pada Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang

Komentar ANDA?