Ganjar dan (atau) Prabowo

0
1062

Oleh: Robert Bala

Pasca pengumuman Ganjar sebagai Capres dari PDIP, peta capres pun kian menguat dan mengerucut. Tiga nama: Ganjar, Prabowo, dan Anies, dianggap paling potensial untuk menggantikan Jokowi.

Namun tulisan ini sengaja mengarah kepada Ganjar dan (atau) Prabowo. Itu tidak berarti mengesampingkan Anies. Ini hanya soal teknis. Anies sudah lama (malah kelamaan) mendeklarasikan diri (dan dideklarasikan Nasdem) sebagai capres.

Juga bukan karena survei yang menempatkan Anies di posisi bontot. Tidak. Bukan itu. Ini soal melihat potensi keduanya baik berpisah (sebagai capres) atau bergabung menjadi capres dan cawapres.

Rasanya tak tegah membandingkan Ganjar dan Prabowo. Keduanya memiliki kedekatan dengan Jokowi yang adalah ‘the King Maker’. Foto yang menunjukkan ketiganya berada di sebuah persawahan menunjukkan bahwa siapapun dari mereka tetap menjadi andalan Jokowi demi melanjutkan gegap gempita pembangunan yang telah dimulai, dilaksanakan, dan 2 tahun lagi akan ditinggalkan.

Permasalahnnya, apakah dengan demikian keduanya harus ‘beradu’ demi mendapatkan posisi sebagai presiden? Beradu menjadi hal biasa saja dalam ruang demokrasi. Tetapi mendorong keduanya untuk maju, bisa saja lebih menguntungkan Anies.

Dalam simulasi 3 capres (Ganjar, Prabowo, Anies), digadang-gadang bila harus maju dalam dua puturan maka yang ‘diandalkan’ adalah Ganjar dan Prabowo. Aneka survei pun membenarkan hal itu. Tetapi tidak boleh ditutup kemungkinan bahwa justru dengan maju keduanya maka peluang itu akan lebih besar dimiliki Anies. Lebih lagi survei atau pooling tidak menjadi jaminan. Banyak kali realitas politik berkata lain. Yang diremehkan justru menang. Pilkada DKI telah membenarkan hal itu.

Kegalauan seperti ini menghadirkan pertanyaan, apakah posibilitas seperti itu dibiarkan terbuka? Realitas politik mestinya mendorong baik Ganjar maupun Prabowo untuk ‘duduk’ bersama. Apakah membiarkan keduanya ‘berdarah-darah’ seperti dalam duel sebelumnya Jokowi-Prabowo yang ujung-ujungnya bersatu juga?

Bagi PDIP, dengan mendeklarasikan Ganjar, tentu saja partai berkepala banteng ini punya bidikan bahwa sebagai partai pemenang pemilu dan partai yang masih mendominasi aneka survei, ia menghendaki agar capres berasal dari partainya. Dengan demikian, PDIP bakal menjadi partai yang mencapai ‘hattrick’ pemenang pilpres di era reformasi ini.

Pada sisi lain, dari segi kematangan berpolitik, semestinya Prabowo lebih pantas menjadi capres. Kinerja dan rekam jejaknya terukur. Patriotismenya terpuji. Dari segi kualitas dan kematangan berpolitik, harus diakui bahwa Prabowo berada di atas Ganjar.

Tetapi kenyataan menunjukkan dalam berpolitik akhirnya yang menentukan oleh rasa ‘sregnya’ masyarakat. Rakyat menghendaki sesuatu yang natural, alamiah, dan punya kedekatan. Selain itu dalam 10 tahun terakhir, Ganjar cukup banyak mendapatkan simpati dari rakyat, tidak hanya dari Jawa Tengah. Tak heran, meski dalam setahun terakhir belum diumumkan jadi capres, Ganjar selalu memimpin perolehan voting.

Memang diakui bahwa Ganjar bukan Jokowi. Apa yang dilakukan Ganjar berbeda (bisa disebut sangat jauh) dengan Jokowi. Tetapi bagi rakyat kalau tidak ada orang lain (selain 3 capres yang menghiasi survei) maka pilihannya akan jatuh kepada Ganjar. Itu sepertinya hukum alam dan rasanya semesta alam mendukung. Dalam pata seperti ini rasanya berlebihan untuk memprediksikan bahwa yang menang nanti adalah Ganjar (kalau duel putaran kedua adalah Prabowo dan Ganjar).

Realistis

Bila analisis ‘abal-abalan’ ini bisa diterima akal sehat maka pertanyaan yang paling mungkin, apakah dinamika politik dibiarkan bergulir atau lebih baik ‘dikondisikan?’.

Pertama, membiarkan Ganjar dan Prabowo terus menjadi capres (bersama Anies), maka yang pasti, salah satunya akan kalah. Itu jelas. Kalau Ganjar kalah, maka itu bisa jadi pembenaran akan dinamika politik selama ini. PDIP dianggap tidak ‘tulus’ mendukung Ganjar. Ia bahkan diragukan dan diklaim lebih ‘tenar’ di Medsos daripada dalam karya nyata. Puan Maharani sendiri pernah menyindir hal ini dan hal itu dianggap benar adanya.

Tetapi apa yang terjadi bila Prabowo gagal? Ia akan menjadikannya capres (pernah cawapres) yang sudah ‘jadi suratan takdir’ untuk kalah. Beruntung pada periode 2 Jokowi, ia diizinkan menjadi Menteri Pertahanan dan terbukti Jokowi tidak keliru. Dalam arti ini maka sebenarnya tidak salah agar Prabowo kali ini ‘naik kelas’ dari Menteri menjadi Cawapres.

Kalau skenario ini diterima, peran Prabowo tentu tidak sekadar ‘ban serep’ seperti yang terjadi Ma’ruf Amien. Prabowo perlu menjadi (ca) wapres dengan peran penting terutama dalam bidang ekonomi karena ‘di sinilah’ bidangnya. Prabowo akan meneruskan ‘kerja diam’ Jokowi yang berdampak.

Kedua, dari sisi realitas politik, rasanya Prabowo cukup disanjung oleh patriotisme yang tulus. Demi apapun ia bersikap ‘gentleman’ menerima posisi apapun asalkan itu demi kepentingan bangsa dan negara.

Pada posisi ini maka rasanya membayangkan Prabowo akan berduet dengan Ganjar menjadi hal yang sangat mungkin. Tetapi semuanya tentu masih akan kembali kepada ‘the King maker’ Jokowi yang tentu merasa nyaman dan pasti bahwa kalau keduanya ‘kompak’, maka kemenangan itu sudah menjadi lebih mungkin untuk tidak mengatakan sudah pasti.

Ketiga, kalau analisis (yang tak matang ini) diterima maka pertanyaan berikut, apakah perlu Ganjar dan Prabowo masih terus akan maju sebagai capres? Rasanya berat untuk mengatakan ‘ya’ atas pertanyaan ini. Yang jauh lebih logis Ganjar dan Prabowo harus maju bersama, yang satunya Presiden dan lainnya cawapres.

Tetapi semuanya akan kembali kepada masing-masingnya. Bila keduanya tetap maju maka skenarionya: Ganjar atau Prabowo. Tetapi keduanya ‘bergandengan’, maka terjadi penyatuan kekuatan dan kepastian kemenangan itu menjadi lebih mungkin.

======

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.

Komentar ANDA?