(Kalau) PDIP tanpa Jokowi

0
540

Oleh: Robert Bala

Jokowi adalah kader terbaik PDIP, demikian gaung yang selalu disampaikan PDIP dalam berbagai ‘event’ yang dihadiri Jokowi. Sebuah julukan yang tidak asal ucap. Fakta membuktikan, tanpa melupakan presiden sebelumnya, Joko Widodo adalah presiden terbaik. Data bisa saja dimanipulasi untuk menggambarkan angka kemajuan tetapi pengalaman langsung rakyat kecil rakyat tidak akan berbohong.

Tetapi sebagai ibu yang melahirkan, apa mungkin Jokowi tanpa PDIP? Awalnya ungkapan ini hanya pengandaian sambil membayangkan yang terburuk bila PDIP tanpa Jokowi. Meminjam kata-kata filsuf prancis Henri Bergson dalam L’évolution créatrice, PDIP akan kehilangan Élan vital atau “daya pendorong vital”. Kalau namanya hal vital maka kehilangan yang vital (hidup), PDIP ibarat hidup segan mati tak mau.

Tetapi separah itukah jadinya? Bayangan menyeramkan ini sebenarnya sudah terarsa sebelumnya. PDIP seakan dibuat bingung dengan pernyataan ‘ambigu’ dari Jokowi tentang arah dukungan. Rasanya PDIP tidak mau frontal karena itu merugikan (dan itu tadi, mematikan). Singkatnya, Jokowi seakan senang dengan gaya komunikasinya yang bisa disebut aneh. Di depan Prabowo ia berkata ‘ya’ dan di depan PDIP tidak pernah dikatakan ‘tidak’.Tetapi semenjak deklarasi relawan Projo dan terutama keputusan MK yang ‘kontroversial’ penuh tanya, rasanya perpisahan itu sudah bukan isapan jempol. PDIP seakan sudah siap untuk bisa berusaha hidup tanpa (bayang-bayang) Jokowi.

Yang jadi pertanyaan, siapakah yang akan lebih menderita kalau hubungan ini memudar dan akhirnya berakhir?

Dari segi PDIP, tentu saja ia kehilangan Élan vital. PDIP selalu mengangkat keberhasilan Jokowi sebagai keberhasilannya, bukanlah lagi janji tapi (meminjam istilah Anies Baswedan). Inilah iklan yang paling menjual selama ini. Dengan demikian kalau akhirnya tanpa Jokowi maka ‘jualan’ tentu harus berubah drastis. Perubahan seperti ini tentu tidak tepat karena justru terjadi pada masa-masa yang sangat krusial.

Siapa tahu dengan mengalami ‘nasib’ seperti ini, PDIP juga sadar bahwa politik ‘abu-abu’ dari Jokowi juga disebabkan oleh langkah PDIP yang terlalu ‘pede’. Ganjar yang jauh sebelumnya
‘dielus’ Jokowi tetapi dalam kenyataan menjadi objek ‘bully’ bahkan oleh internal PDIP. Hal itulah yang buat Jokowi menyusun strategi lain yang muncul kini.

Tetapi apakah dengan ‘perpisahan’ ini hanya PDIP yang (bakal) menderita sementara Jokowi ‘baik-baik saja?’ Rasanya sampai sebelum ‘berlabuhnya’ Kaesang ke PSI (setelah hanya 2 hari menerima kartu anggota) dan keputusan ‘tak masuk akal’ dari MK yang menerima batas usia Capres/Cawapres 40 tahun ‘asalkan pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum seperti kepala daerah’, semua orang masih menyanjung Jokowi. Tetapi setelah dua hal di atas terrjadi, opini publik beralih, hal mana perlu diawaskan.

Tidak hanya itu. Publik seakan m embenarkan apa yang diungkapkan oleh Made Supriatma (Kompas TV 12/10) ini, bahwa terjadi fenomena penerapan politik yang hiperaktif. Ungkapan ini berlebihan. Ia seakan menganalogkan Jokowi sepebagai ‘penderita’ hiperaktif yakni gejala kondisi kronis berupa kesulitan fokus, hiperaktif, dan impulsif ini hanya dikenakan untuk menamakan saatu ‘keanehan’ dalam perkembangan anak. Bila hal ini dikenakan pada seorang presiden, rasanya tidak sopan dan terkesan berlebihan serta tidak pada tempatnya. Tetapi dua peristiwa yang menyorong kedua puteranya dalam bingkai politik besar, terpaksa membuat orang menerima bahwa memang apa yang dilakukan sedikit (atau memang banyak) mengarah kepada praksis politik hiperaktif.

Julukan hiperaktif seperti ini tentu kedengaran tidak enak. Tetapi ia bisa jadi ungkapan yang pas mengingat ketika politik dinasti dijadikan isu maka hal itu masih bisa terbuka bagi Jokowi untuk membela diri. Selain itu politik dinasti pun masih bisa diterima (meski terpaksa) dengan alasan bahwa tidak pernah dipaksakan tetapi lewat pemilihan. Yang kurang tentu hanya seperti apa yang dijawab Ganjar dalam Deklarasi Relawan Ganjar-Mafhud bahwa tidak adanya kontrol diri yang cukup (dari Jokowi tentunya).

Minus Malum

Lalu apakah hubungan Jokowi – PDIP masih bisa berubah? Dengan deklarasi Ganjar – Mahfud maka rasanya gendegarang ‘perang’ sudah ditabuh. Dalam arti ini maka tidak ada lagi ‘permainan simbol’ untuk bisa ditebak. Yang hanya bisa dilakukan adalah melakukan tindakan untuk mengambil keburukan kecil di tengah potensi sebuah keburukan yang lebih besar.

Pertama, ibarat bisul, harus disyukuri bahwa ia bisa ‘pecah’ minimal lebih awal dari yang diprediksi. Dengan demikian ‘kejelasan PDIP’ mestinya mendorong Jokowi untuk segera memberikan pernyataan terbuka. Tetapi pernyataan terbukan seperti ini bukan tanpa konsekuensi. Di satu pihak, dukungan Jokowi (kalau) ke Prabowo diragukan bisa menaikkan elektabilitas oleh faktor keberhasilan. Publik akan tahu bahwa sejahat-jahatnya ibu (PDIP), ia telah melakukan tugasnya mendukung PDIP sejak dari (Bengawan) Solo hingga mengalir sampai jauh ke Jakarta. Tanggapan media sosial dan terutama kehadiran wartawan yang ‘membludak’ saat deklarasi Ganjar – Mahfud menunjukkan bahwa ‘media darling’ sudah beralih dari Jokowi ke Ganjar – Mahfud. Dalam arti ini maka dukungan Jokowi ke Prabowo (misalnya) justru mengundungkan PDIP.

Kedua, potensi agar Jokowi berbalik ke PDIP meski kelihatan sulit tetapi tetap ada kemungkinan. Itulah politik. Kalau Jokowi menyadari bahwa Keputusan MK sama sekali tidak positif untuknya dan memaksakan Gibran menjadi cawapres adalah hal yang bisa menguntungkan Prabowo tetapi justru merugikan Jokowi, maka ia mesti berpikir. Jokowi yang sangat mengandalkan ketajaman analisis mestinya melihat hal ini dan tidak memaksakan diri, sebaliknya seperti kata Ganjar, perlu kontrol diri.

Hal seperti ini memang tidak elok dan bisa menurunkan wibawa Jokowi yang sudah berada di atas parpol. Tetapi dari segi potensi keburukan maka ia adalah terkecil dari deretan keburukan lainnya yang oleh anak milenial disebut ‘serem ah’ buat Jokowi. Tetapi sekali lagi ini hanya pengandaian. Jokowi yang menguasai semua informasi intelijen (hal mana diungkapkannya sendiri) paling tahu apa yang lebih baik untuk diambil. Yang lain (seperti tulisan ini) hanyalah celoteh di siang bolong.

=======

Penulis adalah Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik, Fakultas ilmu Politik, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.

Komentar ANDA?