NTTSATU.COM — LEMBATA — Di antara banyak rencana liburan kali lalu, salah satunya, harus ‘injak’ di Kedang. Seumur-umurnya saya, dan meski puluhan negara sudah saya injak, tetapi Kedang merupakan bagian dari pulauku yang belum saya singgahi. Karena itu, di tengah kesibukan selama liburan yang perlu diurus, antara lain konsolidasi Perguruan Tinggi di Lembata, Pelatihan 226 guru di Aula Ankara, promosi SKO SMARD di SMP, dan terutama urusan keluarga, saya tidak mau jadikan agenda Kedang sekadar wacana. Pokoknya harus injak Kedang…
Rencana pergi agak pagi biar puas mengelilingi gunung Uyelewun. Apalagi diizinkan mengendarai sendiri mobil sehingga bisa mengatur ritme sesuai kemauan. Tapi niat itu sedikit terganggu karena pagi itu harus antri BBM di Lewoleba. Eh, ternyata antrian ini tidak juga terselesaikan sampai kini. Bagaimana bisa antri? Semalaman sudah antri sekitar 40 an mobil masing-masing 20 dari dua sisi berbeda. Tidak tahu mengapa mereka begitu antri? Apakah kendaraan itu dari luar Lewoleba atau luar? Hmmm, saya duga dari orang Lewoleba sendiri yang ‘antri’ biar kemudian BBMnya ditab dan dijual di pinggir jalan dengan keuntungan 100%.
Saya bersyukur bukan sendiri antri tetapi ada orang lain yang harus berkorban ‘ngantri’. Aduh eh….
Jalan “Mulus”
Melewati jalan menuju Kedang serasa melewati jalan di Timor atau Flores. Ya, ini jalan negara bung. Selain itu kalau Kedang (Omesuri dan Buyasuri) dapat perhatian pun jangan terlalu ‘sensi’ hai orang-orang di Selatan. Penduduk di sini hampir 30%. Karena itu logis, kalau anggaran APBN untuk jalan negara hanya beberapa km, tentu diprioritaskan mereka dulu toh…. Kita yang lain ke Atadei, Nagawutung, Wulandoni, ya sabar sedikit toh (kata orang Lerek “Er hem sabar ene we…).
Mobil yang dikendarai sendiri pun nyaris goyang oleh jalan berlubang. Itu beda kalau ke Atadei, lebih banyak ‘goyang’ daripada tenangnya. Tak terasa, hanya 2 jam bisa dilalui untuk sebuah jarak 60 km (sampai Balauring). Memang setelah itu harus ambil jalan ke pedalaman sekitar 14 km untuk sampai ke Loyobohor (total 74 km). Tetapi itu pun hanya sebentar saja.
Selain itu ‘jalan berbatuan’ di sini tidak ‘permanen’. Pembangunan jalan terus. Jadi orang terus berharap bahwa dalam waktu dekat, jalan itu sudah mulus. Dan justru di sinilah inti dari tulisan ini. Ketika sampai di Meluwiting dan kemudian ke Peu, jalan mulai ‘mulus’. Kami pun tanya, kira-kira berapa lama lagi kami sampai di Loyobohor. Jawaban yang sangat umum adalah ‘ujung aspal’.
Dengan kekuatan nyetir yang masih full, kami pun berlari sekuat tenaga untuk mencapai ‘ujung aspal’ sesuai petunjuk. Yang membuat kami terkejut, ternyata beberapa hari sebelumnya ‘ujung aspal’ memang masih Loyobohor. Tetapi hari itu ujung aspal telah berpindah. Kami sudah melewati jarak yang cukup jauh dan sudah mendekati Wairiang.
Kami pun harus berbalik ke Loyobohor yang dalam bahasa Kedang disebut Matahari Terbit. Eh, ia sudah jauh beberapa kilometer. Tidak ada masalah. Kalau lari kembali di jalan mulus seperti ini tidak ada masalah. Paling hanya beberapa menit saja sudah bisa ketemu keluarga yang mungkin sudah menanti.
‘Ledo-Ledo’
Jalan-jalan (ledo-ledo) ke Kedang kali ini sedikit membukakan mata saya untuk beberapa hal yang tentu bersifat sangat pribadi. Orang lain bisa berpendapat lain, ya terserah saja. Malah lebih baik kalau ada yang tidak sepaham dan bisa memberikan tanggapan balik.
Pertama, Kedang memang menjadi ‘kekuatan’ untuk Lembata, tidak saja dari kuantitas tetapi juga kualitas. Kalau segi kuantitas sudah dijelaskan tentang dominasi warga Kedang dengan jumlah penduduk yang lumayan tidak saja di Kedang tetapi juga di Lembata. Bisa dipastikan bahwa di semua instansi juga di kecamatan lain tentu saja ada orang Kedang.
Segi kualitas yang saya maksud, tentang prinsip hidup. Di sela-sela pembicaraan dengan keluarga, saya denagr ungkapan ini: “Uyelweun Kaya’ Te Ne Dorong Dope’ Ote Nene Kara One’ Pana We’ (Uyelewun Ibarat Perahu Bergeser Turun Dari Atas, Jangan Marah Saling Membenci).
Artinya, kesatuan orang Kedang itu begitu kuat dan sangat suka persatuan. Karenanya, berada di manapun, orang Kedang akan selalu menerapkan semangat persatuan. Mereka tidak akan egois atau sukuis. Justru di sana kebesaran hati mereka ditemukan.
Untuk itu saya berpikir, kalau itu karakter dasar, maka jauh dari benar kalau orang menganggap orang Kedang itu sukuisa. Orang Kedang suka berbaur dan suka berdamai. Itu berarti, kalau ada hajatan politik, orang Kedang itu akan mendukung figure yang berkualitas terlepas apakah dari Kedang atau luar Kedang. Ya, kalau yang berkualitas itu orang Kedang, ya tentu didukung bukan karena dia dari Kedang tetapi karena memang layak untuk didukung. Jadi jauh dari anggapan bahwa orang Kedang hanya akan dukung orang kedang.
Kedua, orang Kedang itu selain banyak tetapi juga kompak. Itulah yang bisa dimaknai dari jalan yang mulus. Meski dari berbagai partai tetapi ketika menyangkut kampung halaman, mereka coba mencari simpul temunya. Mereka lalu sepakat bangun kampung halaman secara bertahap. Giat pembangunan pun terus berjalan dan membuat ‘ujung aspal’ itu tetap hidup dan bergerak.
Lalau apakah ini yang jadi masalah di Selatan? Orang Selatan itu mungkin saja terlalu ‘pede’ atau tepatnya terlalu anggap diri paling pintar dan hebat. Omongnya ya lebih dari orang pintar (artinya sebenarnya tidai pintar hehehe). Lihat saja di tiap kampung, kalau mendekati pileg, desa ‘sekecil itu’ bisa ada beberapa calon yang masuk. Akibatnya: “keringkah mayak…”.
Atau lebih luas. Coba lihat kecamatan Wulandoni. Dengan meminta maaf untuk Lembata, gudang orang pintar di Lembata bukankah Wulandoni dengan Lamalera sebagai ‘penyanggah utamanya. Tetapi berapa anggota DPRD asal Wulandoni? Apakah karena orang di Selatan itu terlalu anggap diri ‘paling pintar’ (atau rasa pintar sendiri?) Saya tidak mau singgung acara misa Lefa yang jadi ‘viral’ yang tidak tahu ‘endingnya’ seperti apa. Tapi intinya, mungkin itu masalah karena orang pintar (atau merasa pintar) begitu banyak.
Di Atadei yang punya wakil pun bisa diteliti apakah mereka dapat suara dari kampung halamannya atau justru bukan? Dalam sebuah postingan di Medsos saya membaca bahwa masyarakat desa itu lagi tunggu-tunggu wakil rakyat yang tidak ada bersama mereka dalam sebuah perhelatan: “Tunggu engko di situ ama, nanti mendekati hari H dulu baru engko datang, kami te kenal le…”. Itu suara lepas.
Saya tidak tahu apakah ini jadi alasan mengapa pembangunan di Selatan tidak jalan? Bisa banyak jawaban lain. Biasanya kita yang dianaktirikan dan membuat orang Selatan itu iri hati karena pembangunan lebih ‘mengarah’ ke Kedang tetapi kita sendiri dari dalam juga tidak bersatu. Dalam satu desa saja ‘puluhan caleg’. Logikanya tidak akan lolos, tetapi kita masih ‘nekat’ (maaf bodoh nekat alias bonek) untuk tetap ‘mukut’ dengan caleg kita.
Jadi saya berkesimpulan bahwa Selatan ‘ditelantarkan’ bukan karena Kedang lebih diperhatikan. Saya rasa asumsi seperti ini harus perlahan-lahan ditinggalkan. Ya Kedang diutamakan karena mereka bersatu. Uyelewun jadi simpul persatuan. Mereka tidak dendam dan selalu tawarkan damai demi kampung halaman. “Jo kita?”… (lokeng bo…. Kata orang Lerek).
Saya lalu berkesimpulan akhir begini (dan kesimpulan saya bisa ditentang dan dilawan oleh siapapun) bahwa ‘ledo-ledo’ ke Kedang pada Senin 25 April tidak membuat saya iri hati terhadap Kedang. Saya malah bersyukur bisa melihat kekompakan orang Kedang dan patut saya banggakan dan teladani. Saya pun bersyukur bahwa dalam ‘ledo-ledo’ kali ini saya bisa melihat tempat ‘matahari terbit’ (loyo bohor). Loyobohor, matahari terbit, biarkan setelah terbit, sinari kami sedikit di Selatan biar tidak terus ‘gelap’. (RB, 11 Mei 2022)