Melacak Nama Lembata; Dari Plesetan Hingga Peta Kuno

0
2172

 

Oleh: Thomas B. Ataladjar

Penulis adalah Anak Kampung Lembata, tinggal di Bogor

William Shakespeare pernah berucap, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet”. Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap berbau wangi. Namun  orang Latin kuno bilang “Nomen Est Omen”, nama adalah pertanda.

Karena nama bukan soal identitas saja, tetapi tentang sesuatu yang disakralkan. Pada semua nama ada makna, ada harapan baik, ada filosofi hidup yang dalam yang terkandung di dalamnya.

Dalam tradisi Lamaholot dan Kedang, pemberian nama orang, tempat ataupun kampung mengandung nilai filosofis. Pemberian nama seorang anak yang baru lahir misalnya, didahului oleh mimpi orang tuanya. Salah memberi nama, bisa membuat anak sakit-sakitan. Sebab orang, tempat ataupun kampung tersebut akan ‘dikawal’ oleh para leluhur leu auq (lewotana), sehingga sepanjang hidupnya tidak mudah digoyahkan oleh ancaman apa pun. Lembata pun memiliki banyak nama. Bukan cuma Nuha Kawela ,Lomblen dan Lembata. Bagaimana kisahnya?

Semau Guenya Bangsa Eropa, Plesetkan dan Salah Lafalkan Nama

Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama, yang mencapai kepulauan nusantara. Mereka berupaya mendominasi dan memonopoli sumber rempah nusantara. Orang Portugis ke nusantara mengusung semboyan, Feitoria (emas) Fortaleza (kejayaan) dan Igreja (gereja) atau Gold, Glory dan Gospel ( 3G). Ingin meraih untung besar dari perdagangan rempah-rempah dan cendana dengan harga termurah di nusantara, lalu dijual dengan harga tinggi di Eropa, yang dilambangkan dengan Gold (emas). Portugis juga berambisi memperluas wilayah jajahannya di Asia Tenggara yang kaya akan rempah-rempah, perlambang Glory “Kejayaan”nya. Dan mau menyebarkan agama katolik ke daerah singgahan  dengan lambang Gospel.

Tahun 1511 Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka. Sadar bahwa Malaka hanya pelabuhan dagang, bukan penghasil rempah, fokus perhatiannya lalu tertuju ke Maluku. Ia ingin segera menemukan dan menguasai negeri penghasil rempah tersebut. Ia lalu memerintahkan António de Abreu (1480-1514), memimpin ekspedisi menemukan the spice islands tersebut.

Cabo das Flores Singkirkan Nusa Nipa

Dalam bulan November tahun 1511, Abreu berlayar dengan armada tiga buah kapal berawak 120 orang dan 60 budak. Abreu menakodai kapal Santa Catarina, Francisco Serrão kapal Sabaia dan Simão Afonso Bisagudo menahkodai  kapal karavel (caravela=kapal layar kecil yang mudah dikemudikan). Mereka dipandu oleh pelaut Melayu berpengalaman yang biasa mengarungi jalur pelayaran nusantara. Dalam rombongan Antonio d’Abreu ikut serta  seorang paderi Dominican sebagai pembina rohani awak kapal, merangkap kartografer (ahli membuat peta) bernama Portulano Fransisco Rodriques. Ia juga bertugas  mewartakan ajaran Kristus kepada kaum pribumi di daerah yang baru ditemukan. Armada Portugis ini berlayar menelusuri pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan kemudian sampai di Maluku dan Banda.

Saat mereka tiba di ujung timur Pulau Flores yang saat itu sedang bermekaran bunga flamboyan awal 1512. Saking terpesona akan keindahan tanjung penuh kembang tersebut, mereka spontan berseru: “Cabo das Flores” (Tanjung Bunga). Pedagang Portugis S.M. Cabot lalu memberi nama pulau tersebut “Flores”.  Dan sejak 1636, nama “Flores” dipakai secara resmi oleh Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Hendrik Brouwer (1632-1636) untuk seluruh pulau  Flores atau Nusa Bunga. Padahal, nama asli pulau ini  adalah Nusa Nipa artinya Pulau Ular. Sebuah studi cukup mendalam oleh P.Piet Petu SVD atau Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa (pulau ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural, dan tradisi ritual masyarakat Flores. Portugis dalam pelayarannya terkesan seenaknya memberikan nama sebuah pulau sesuai dengan nama tempat yang disinggahinya.

Pedagang Portugis masuk lewat Kepulauan Solor yang strategis. Tepat di persimpangan jalur pelayaran perdagangan dari Cina ke Pulau Timor penghasil cendana dan barat-timur ke negeri rempah Maluku. Solor juga tempat singgah yang aman bagi kapal untuk berlindung dari cuaca buruk, sambil menunggu  angin baik menuju Maluku. Tentang Solor, Tome Pires (1468-1540) dalam bukunya Suma Oriental menulis, “Kepulauan Solor sangat luas. Mempunyai seorang raja yang masih menyembah berhala. Memiliki banyak pelabuhan dan bahan makanan dalam jumlah besar. Mempunyai asam Jawa yang tak terbilang banyaknya. Mempunyai banyak belerang. Bangsa Portugis mengambil sejumlah makanan dari pulau-pulau ini ke Malaka….”

Sementara itu misi Igreja atau Gospel ikut nimbrung. Dalam abad ke-16 misionaris dari Ordo Dominikan, yang mengikuti pelayaran pedagang Portugal dan Spanyol, telah mulai membentuk jemaat Katolik di Maluku. Mereka dirikan Stasi Misi Katolik pertama  di Moro, Halmahera  pada 1534.

Namun agama Katolik lebih cepat berkembang di Solor. Pada 1561 karya pelayanan paderi Dominikan cukup berhasil. Dalam tahun 1562 tiga misionaris Dominikan yakni  Pater Antonio da Cruz , Pater Simao das Chagas dan Bruder Alexio mulai menetap di Solor.  Menurut catatan pada 1567 sudah terdapat 25.000 umat Katolik, tersebar di 25 stasi, yang ada di Solor, Flores bagian timur dan Adonara. Walau Portugis telah lama pergi, ia mewariskan  nama untuk beberapa pulau kita, sebagai  bagian dari jejak dan warisan dari Jalur Rempah masa lalu.

Borneo, Celebes, Enggano, dan Rote, Nama Portugis.

Pada tahun 1518, pedagang Portugis Lorenzo da Gomez berlabuh di sebuah pelabuhan Kerajaan Brunei. Saat itu, da Gomez  salah melafalkan kata Brunei dan diplesetkan menjadi Borneo. Salah pelafalan Gomez ini, malah dipopulerkan oleh bangsa Eropa lain, sementara nama Brunei tenggelam.

Pada tahun 1601 terbit sebuah peta dan nama Brunei telah disebut sebagai Borneo, bahkan untuk seluruh pulau yang kini bernama Kalimantan. Nama Celebes (kini Sulawesi) juga diberikan oleh Portugis. Kartografer Nicholas Desliens (1541-1566), memberi nama “Ponta dos Celebres” (Tanjung Orang-orang Termasyhur) pada bagian paling utara pulau Sulawesi dalam peta yang dibuatnya. Celebres akhirnya menjadi Celebes untuk seluruh pulau Sulawesi.

Antonio Galvao gubernur Maluku (1536-1540) dalam laporannya telah menyebut “rakyat Celebes” untuk penduduk Celebes. Nama Pulau Enggano, juga disemat Portugis. Ketika pelaut Portugis Talesso mengarungi Samudera Hindia, karena keliru dalam navigasi, ia terdampar di pulau yang kini bernama Enggano. Kata ‘kekeliruan’ dalam bahasa Portugis adalah “engano” yang diucapkan “enggano”.

Rupanya kisah kekeliruan itu, menjadi bahan cerita heboh saat itu. Akhirnya kata ”engano” yang berarti “keliru” itu, malah jadi nama Enggano untuk pulau tersebut. Da Franca menulis, banyak gambar peta kepulauan ada dalam buku “Peregrinacao” karya Fernao Mendez Pinto (volume pertama edisi 1952), termasuk nama Pulau Enggano yang lalu jadi nama resmi. Pada hal penduduk aslinya menamakan pulaunya“E Loppeh” yang berarti “tanah”, “daratan” atau “bumi”.

Ada kisah bahwa nama pulau Rote juga pemberian Portugis. Dikisahkan, suatu saat di  pantai Rote berlabuh kapal Portugis mengisi kebutuhan air tawar dan perbekalan. Saat turun ke pantai, mereka bertanya kepada seorang nelayan “Pulau apa ini?” Nelayan ini mengira bahwa mereka menanyakan namanya, dan menjawab, “Rote” (Rote is Mijn Naam). Nahkoda kapal Portugis ini lalu menamakan pulau itu, Rote. (Een Landschen School Messter, 1854-4).

Anthropolog Amerika, James J. Fox menulis bahwa nama Pulau Rote telah tercantum dalam dokumen Portugis pada abad ke-16 dan ke-17. Serikat Dagang VOC dalam dokumennya menggunakan tiga nama dengan  ejaan berbeda yaitu “Rotti”, “Rotty” dan “Rotij”. Sebutan resmi ini terus dipergunakan sampai abad ke-20 dan diubah menjadi “Roti.” Padahal leluhur mereka menamakan pulau itu “Noessa Dahena” (Nusa Dahena) yang berarti “Pulau Manusia”.

Pulo Lamalean Diplesetkan Jadi Lomblen

Pemberian nama tempat dan sejumlah pulau oleh bangsa Eropa, terk esan asal beri, diplesetkan atau salah lafal. Lewokurang, dusun dari desa Nubahaeraka (Waiwejak), Atadei, Lembata misalnya, awalnya bernama Lewo Keturang. Suatu saat controleur Belanda singgah di dusun itu. Karena sulit melafalkan Lewo Keturang, maka diplesetkan saja menjadi Lewokurang, yang akhirnya jadi nama resmi dan  berlaku hingga sekarang.

Bangsa Portugis dalam pelayarannya dulu, juga seenaknya memberikan nama pulau, sesuai dengan nama tempat yang disinggahinya, tanpa banyak tanya  nama asli pulau itu. Bagaimana pemberian nama Kawela dan Lomblen ? Menurut catatan, kartografer (ahli pembuat peta)  Paderi Dominikan Portugis, Portulano Fransisco Rodriques O.P. dalam pelayarannya melintasi Kepulauan Solor, menamakan nama pulau Adonara dengan nama Serbita. Dan saat kapal Portugis berlayar di perairan Lembata sempat singgah di sebuah kampung nelayan, yang oleh penduduk disebut Kawela. Sejak saat itu nama  seluruh pulau itu diberi nama Nuha Kawela atau Pulau Kawela. Pada zaman swapraja, Kawela menjadi nama sebuah hamente, yakni Hamente Kawela beribukota di Belang.

Antara tahun 1521-1522 Kapal Victoria yang merupakan kapal terakhir dari armada Magalhaens yang mengelilingi dunia, singgah di perairan Kepulauan Solor dan dua minggu di Alor. Kapal yang dinahkodai oleh Sebastian de Elcano dengan kartografer (ahli pembuat peta) dan juru gambar Antonio Pigafetta (1480-1531) asal Vicenza- Italia ini, membuat sebuah peta sederhana berisi nama sejumlah pulau. Antara lain pulau Galiau, Zolot, Nocemamor, Mallua dan Batuembor.

Kiri : Peta Pigafetta 1522, peta Zolot (Solot or Lembata), Galiau (Pantar), Mallua (Alor), Nocemamor (Rusa) dan Batuombor (Batang). Peta gugusan Nusa Solor ini dikutip dari buku Pelayaran De Elcano mengelilingi Nusa Timor dengan kapal, Victoria” karangan C.C.F.M. Leroux. Kanan: Peta Pulau Lomblen 1931, Sumber : Koleksi Universitas Tohoku, Miyagi, Jepang)

Sementara nama “Pulau Lomblen” juga memiliki kisah yang mirip dengan kisah penamaan pulau Rote di atas. Orang Kedang meyakini bahwa mereka adalah anak Tanah Pulo Lamale’an, nama leluhurnya. Menurut kisah tutur, leluhur orang Kedang bernama “Lamalea’n”, yang muncul dari perut bumi di puncak gunung Uyelewun. Dikisahkan, suatu hari berlabuh sebuah kapal asing di pantai perairan Kedang.

Ketika pelaut  asing itu turun dan menanyakan apa nama pulau ini, orang Kedang yang ditanya hanya menjawab “Lamalean’. Lida asing yang kesulitan melafalkan Lamalean lalu memplesetkannya menjadi Lomblen. Dan nama Lomblen itulah yang akhirnya mengabadi di peta dan dokumen kolonial dalam waktu yang lama. Sayangnya, kisah ini tidak mengungkapkan secara lengkap sumber acuan pertama yang menjelaskan tentang dialog antara nahkoda kapal asing dan orang Kedang itu, minimal siapa nama dari kedua orang itu dan tanggal kejadian.

Nama Lomblen sendiri sampai saat ini masih misteri,  apa artinya dan sejak kapan mulai digunakan.  Dalam kamus Belanda Nederlands-Indonesisch en Indonesisch Nederlands door A.L.N. Kramer Sr, terbitan s’Gravenhage, September 1953, kata ”Lomblen” tidak ditemukan. Setelah kontak beberapa teman di Belanda baik di Universitas Leiden, Rijksmuseum, Delft dan di Erasmushuis Jakarta serta KITLV (Koninklijk Instituut vor Taal,Land-en Volkenkunde), lembaga ilmiah kerajaan Nederland untuk study tentang Asia Tenggara dan Caribia, nama ” Lomblen”  tetap masih misteri.

Peta Pulau Lomblen dalam Old Sumba map

Saya akhirnya balik bertanya, apakah betul lidah orang Eropa begitu sulit melafalkan kata “Lamalea’n” sehingga untuk mudah melafalkannya mereka lalu memplesetkannya menjadi Lomblen? Jangan buru-buru memvonis bahwa kisah Lamale’an menjadi Lomblen ini hanya mitos atau cerita isapan jempol belaka. Amat sangat mungkin sekali Lomblen itu benar plesetan dari Pulo Lamalean. Buktinya ada kisah lain sejenis yang mirip. Brunei diplesetkan jadi Borneo. Juga Lewo Keturang jadi Lewokurang. Juga nama Pulau Rote. Namun satu hal yang pasti, Lomblen pernah menjadi nama resmi dari pulau yang kini namanya Lembata.

Lembata Singkirkan Lomblen

Hingga tahun 1967 nama Pulau Lomblen menjadi nama resmi dalam dokumen pemerintahan maupun peta dan atlas resmi. Pada tanggal 24 Juni 1967 berlangsung  Musyawarah Kerja  III Luar Biasa Tokoh Masyarakat Lomblen di Lewoleba yang kemudian mengukuhkan nama Lembata. Pengukuhan nama “Lembata” ini konon sesuai sejarah asal masyarakatnya dari Pulau “Lepan  dan Batan”, walaupun bukti sejarah menunjukkan bahwa tidak semua leluhur orang Lembata berasal dari Lepan Batan. Namun sejak 01 Juli 1967 sebutan untuk penduduk yang semula “Orang Lomblen” berubah menjadi “Orang Lembata”.

Walaupun mungkin ada yang masih mempertanyakan makna nama Lembata atau bahkan mungkin  menyatakan bahwa pemberian nama Lembata adalah nirmakna  alias tak bermakna apa-apa, fakta menyatakan bahwa nama Lembata sudah menyingkirkan Lomblen. Itupun atas kehendak rakyat Lembata  lewat sebuah Muker Luar Biasa. Sementara kehendak untuk mengubah nama Lomblen menjadi Lembata juga terwujud, sehingga terhitung sejak 1 Juli 1967 nama “Lembata” dikukuhkan dan berkibar menyingkirkan “Lomblen“ dan berganti menjadi Lembata.

Boleh jadi ada yang bertanya, mengapa nama Lomblen diganti. Menurut linguis Prof.DR. Gorys Keraf, dosen Universitas Indonesia di Jakarta dalam sebuah papernya, nama Lomblen sama sekali tidak mencerminkan pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia, maupun bahasa penduduk di sana. Nama Lembata lebih cocok dengan pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia dan bahasa di sana seperti juga beberapa nama tempat misalnya Lambunga, Lambote, Lambaka dan sebagainya. Itulah asal muasal mengapa kini nama Lembata menyingkirkan Lomblen. Juga katanya Lembata adalah akronim dari Lepan dan Batan.

Seiring dengan bergantinya nama Lomblen menjadi Lembata pada hari yang sama, 1 Juli 1967, lahir juga  bentuk pemerintahan baru di Lomblen dengan menyandang nama “Lembata” yakni Koordinatorschaap Lembata, dan bukan Koordinatorschap Lomblen.

Lauballa, Laubana, Lombatta Dalam Peta-Peta Kuno

Ternyata Lembata punya banyak nama. Sejumlah peta kuno dengan nama yang berbeda hasil penelusuran penulis, dilampirkan dalam tulisan ini sebagai bukti. Dalam peta kuno Solor tahun 1656 Lembata disebut Lauballa. Boleh jadi nama Leuballa ini, juga nama plesetan Portugis saat melintas di perairan Labala di selatan Lembata, lalu menamakan pulau ini dengan Lauballa.

Sejarah Pantar mencatat bahwa Solor Watang Lema mencakup kerajaan; Laubala/Lebala (di Lembata), Lamahala (di Adonara), Lewo Hayong (di Solor), Terong (di Adonara), dan  Lamakera (di Solor). Jelas bahwa nama Lauballa tidak lain adalah Labala.

Peta kuno NTT kuno tahun 1656 Lembata disebut Lauballa

Dalam sebuah peta kuno lain berjudul ‘Kaart der Zuyd-Wester Eylanden van Banda ‘tersaji  peta pulau-pulau di tenggara Laut Banda  yakni Sumba, Flores dan Timor. Jelas tertulis juga nama LOMBATTA ( kini Lembata). Peta asli ini diambil dari buku ”Oud en Nieuw Oost-Indiën” karya F. Valentijn. François Valentijn (1666-1727) ,seorang misionaris yang berkarya di Ambon sejak 1684 hingga 1694 dan 1705 hingga 1713 dan secara luas menjelajah pulau-pulau VOC tersebut.

Pulau Sumba, Flores dan Timor, termasuk Solor, Serbite dan Lombatta, karya Valentijn (1726). Sumber : peta kuno berjudul ‘Kaart der Zuyd-Wester Eylanden van Banda.

Dalam buku Nusa Nipa karangan Orinbao (P.Piet Petu SVD), terdapat peta Pulau Lombatta (kini Lembata). Orinbao menulis bahwa setelah Magalhaes tewas di Filipina, pelayaran dilanjutkan dengan kapal Victoria pimpinan Sebastian de Elcano didampingi Pigafetta, pencatat ekspedisi.  Kapal Victoria juga mengundjungi bagian timur Nusa Nipa, sekurang-kurangnya sudah menyinggahi Nusa Lombatta, walaupun tidak dipisahkan dengan jelas dari Nusa Solot. Dari sini kapal Victoria kembali ke Eropa melalui Tanjung Pengharapan. (Orimbao, Nusa Nipa hal 244).

Peta Flores, Serbite, Solor dan Lombatta Sumber : buku Nusa Nipa karangan Orinbao (P.Piet Petu SVD)

Sementara sebuah peta kuno lain tahun 1744, dari buku “Discoveries Made by Captn. William Dampier in the Roebuck in 1699’ oleh Emanuel Bowen jelas memperlihatkan pulau Laubana (Lembata). Juga Pantar, Omba (Alor) Fetter (Atauro), Wetar dan Pulau Gunung Api (burning island).

Peta kuno tahun 1744, Lembata disebut Laubana

Nama Laubana (Lembata) juga ada dalam peta Oriental 1756. Dalam peta ini tampak sebahagian Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Barat. Jelas tercantum nama pulau Laubana yang kini sudah jadi Lembata.

Peta Flores Sulawesi tahun 1756 Lembata bernama Laubana. Adonara disebut Adonare.

Sementara dalam sebuah peta kuno tahun 1700, tercantum Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi) Maluku   hingga Papua serta sebahagian Jawa Timur,Bali Flores,Timor hingga Maluku Tenggara tercantum juga nama Laubana, kini Lembata sedangkan Adonara disebut Serbite.

Peta : Laubana (Lembata), Serbite, Solor Flores dan Timor tahun 1700.

Belajar Sejarah dari Sumber Arsip Peta Kuno

Catatan ringan ini sekedar ingin bilang bahwa kita bisa banyak belajar sejarah, termasuk dari peta-peta kuno tentang Lembata masa lalu. Saya hanya ingin agar peta kuno ikut “berbicara” tentang dirinya di masanya, maka  perlu dinarasikan. Peta kuno Lembata membantu kita untuk menemukan “tempat kita” di jagat ini, menunjuk asal usul kita, ke mana kita pergi, dan di mana kita berada sekaligus menjelaskan siapakah kita.  Peta kuno itu membantu menghidupkan memori dan mengenal jati diri kita, Maka perlu diinterpretasi agar buka kesadaran dan pengetahuan kita, sekaligus membuka sebuah narasi diri kita sebagai orang Lembata. Itu saja.***

Sumber :

  1. F.X.Atma Djuana, “Genta Nostra Senhora del Rosario”,Perjalanana Menuju Ujung Dunia”, Penerbit Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus1945 Jakarta, 2011,
  2. Antonio Pinto da Franca, “Pengaruh Portugis di Indonesia” Penerbit Pustaka Sinar Harapan,2000
  3. Adrian B. Lapian, “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara, Abad ke 16-17” ,Penerbit Komunitas Bambu,2008.
  4. Ataladjar Thomas B, “Jejak Navigator Kondang Dunia di Nusantara dan Batavia”, Penerbit Museum Bahari, Jakarta 2010.
  5. Ataladjar Thomas B, ”Solor, Nusa Cendana Tanpa Wangi Cendana”.
  6. Ataladjar Thomas B, “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya”, Penerbit Ikan Paus Lamalera , 2022.
  7. Jack Turner, “Sejarah Rempah Dari Erotisme dampai Kolonialisme”, Penerbit Komunitas Bambu

Komentar ANDA?