Suatu bangsa akan maju tidak luput dari berbagai deraan politik termasuk menjaga dan merawat eksistensinya sebuah ide. Secara simpel dikatakan bahwa suatu bangsa akan terlihat maju kalau kontestasi ide dibiarkan tumbuh subur. Dan satu catatan penting yang perlu dijaga dan dirawat adalah hadirnya sebuah ide bertujuan bukan saling “mendungukan” satu terhadap yang lain ketika berada dalam komunikasi politik di ruang publik yang berupaya mengemas segala harapan akan perubahan sosial secara demokratis. Yang diharapkan dan menjadi andalan adalah hadirnya ide-ide segar dan sejuk dalam komunikasi politik di ruang publik yang berasal dari ilmuwan politik yang punya integritas. Ide dari seorang ilmuwan politik mestinya lebih utamakan power of argument dan bukan kata-kata kualitatif yang cenderung bersosok ”hitam putih”. Seorang Filsuf Yunani Kuno, Plato, ketika ingin “berontak” terhadap publik dan para penguasa di kota Athena yang siap mengesekusi Socrates dengan sebuah aktivitas yang terlihat konyol dengan meminum racun hemlock, dia memilih cara dialog dengan menggunakan mulut Socrates.
Hasilnya dialog Plato yang berdampak hingga dewasa ini adalah peradaban Barat yang kini mendominasi dunia sejagad dalam berbagai disiplin ilmu. Sebuah benang merah yang perlu ditarik dari horizon pemikiran ini adalah dalam politik teruslah menyampaikan berbagai kritik yang tajam, atau kritik yang bernas, atau pun kritik yang substantif dan juga adil. Semua efek dari kritik yang tergambar di atas sebetulnya tetap berada pada sisi yang benar dari sejarah, dan itulah peradaban hidup yang menjadi cikal bakal lahirnya seorang ilmuwan, termasuk di dalamnya ilmuwan politik yang terus dikumandangkan hingga dewasa ini.
Politik dan Pendidikan
Dunia pendidikan tetap menjadi perdebatan publik yang terkait langsung dengan kualitas sumber daya mnusia. Hal ini tetap relevan dan bermartabat di mata publik. Untuk mempertahankan martabat pendidikan, sebuah keutamaan yang terus dibangun secara berjejak sepanjang zaman adalah aktivitas membaca, merenung dan menulis. Ketiga nilai ini bisa bersifat tetap dan mengikat bagi setiap orang yang hadir sebagai seorang pendidik dan diterima menjadi patokan utama dalam mengabdi dan melayani dalam bidang Pendidikan itu sendiri. Hal itu pun tentunya terus diperjuangkan agar tetap berwibawah.
Lazimnya dalam bidang pendidikan, untuk meningkatkan kualitas seorang pendidik dengan membaca, merenung dan menulis terus terjadi sesuai kepentingan stake holder (to whom is your concern) yang terinternalisasi dan mengalami penguatan yang hebat dalam peradaban berpikirnya. Perlu diingat pula bahwa semua peradaban berpikir terkandung berbagai nilai yang siap untuk diimplementasikan secara benar (verum), baik (bonum), dan indah (pulchrum) dalam relasi sosial yang merupakan bagian penting dalam komunikasi publik. Ketiga nilai ini diharapkan bertransformasi ketika berhadapan dengan berbagai sistem nilai baru lainnya. Siapa pun tenaga akademik, atau katakan seorang dosen sekali pun tentu berjuang agar survive dalam bidangnya dan berfokus pada berbagai kajian yang terus digelutinya.
Seorang politisi semestinya tau apa yang menjadi bagian penting yang terkait dengan ilmu politik yakni perilaku politik (political behaviour). Bahwa dalam perilaku politik satu hal penting yang menjadi unsur utamanya adalah bagaimana berdemokrasi yang semestinya harus bisa berkolaborasi, bahu-membahu dalam setiap permainan politik (political game) yang terjadi, yang terus ditautkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Termasuk di dalamnya ilmu komunikasi, hubungan internasional, sosiologi, administrasi negara, kriminologi, manajemen pemerintahan, ilmu pemerintahan, krimonologi, anthropologi, psikologi dan lain sebagainya khususnya dalam ruang (faculty) ilmu-ilmu sosial dan ilmu politik, tetaplah menjadi gandengan utama ketika momen sebuah keputusan yang mau ditetapkan dan dijalankan.
Seorang ilmuwan jangan pernah mendewakan disiplin ilmu yang dimilikinya jauh lebih bernilai daripada yang lainnya. Kesejajaran dengan disiplin ilmu lainnya mestinya terlihat sebagai sejoli-semantis dalam berkomunikasi politik dan meraup di dalamnya identitas ilmu lainnya dalam praktiknya ”kita berada dalam satu ilmu, satu rumpun, satu nomen-klatur dan satu faculty yang sama dan tetap unggul dalam dirinya masing-masinya (identic secara riil dan juga disting secara riil). Seorang ilmuwan politik, tau itu.
Setiap ilmuwan politik, tetaplah mencerminkan Tri-Dharma Perguruan Tinggi. Hendaknya seluruh cerita keseharian hidupnya di kampus atau di lapangan penelitian dan aktivitas pengabdian kepada masyarakat menjadi pantulan khas dalam memahami siapa itu seorang ilmuwan politik yang dengan tekun melakukan pengembangan ilmunya secara spesifik sampai tibalah waktunya untuk mengumumkan hasil penelitiannya kepada publik atau civitas academica secara spesifik. Tahap demi tahap dilalui dan dengan tekun ia mengembangkan dan mendalami hasil temuannya dan selanjudnya masuk pada progres pengakuan (recognize) pada setiap jenjang akademik sebagai jalan menuju kelengkapan menuju sebuah profesi sebagai ilmuwan (baca: ilmuwan politik).
Perlu digarisbawahi lagi bahwa, pada hampir setiap waktu setiap ilmuwan politik mestinya cerdas mengolah waktu dalam meningkatkan kualitas akademiknya dengan membaca, merenung dan menulis pada setiap kesempatan. Ketiga aspek ”trinitaris” tersebut sebagai panggilan (calling) seorang ilmuwan politik (political scientist) yang secara terus-menrus berupaya mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam menyadari panggilannya itu, ia semestinya tidak pernah terlena dengan praktik politik yang diperankan oleh para politisi di setiap perilaku yang bisa berakibat kerusuhan politik (political unrest). Ia mestinya terus bertransformasi menyatukan kecerdasan yang ia mililiki dengan nilai-nilai kemanusiaan di sekitarnya (circumstance).
Apabila terjadi konflik antara keduanya, mestinya didamaikan dengan penuh persaudaraan (corectio fraterna). Ilmuwan politik pada aras ini sebetulnya bereksistensi menjadi seorang duta persaudaraan (bersaudara) dalam ilmu pengetahuan yang tetap bersandar pada kedalautan atau mandatory tertimggi. Paling kurang sebagai ilmuwan politik yang ber-etika. ***