VIDI MAKING DAN BERANI HIDUP (Catatan untuk Fenomena Bunuh Diri Remaja)

0
1495

Oleh: Ribert Bala

Kematian Vidi Making dengan cara yang tidak wajar telah memunculkan reaksi yang cukup besar. Kualitas pribadi yang sangat terlihat di usianya yang sangat muda telah menghadirkan harapan besar publik akan masa depannya. Jiwa seninya dan cara merangkai kata yang begitu lincah membuat orang sepakat bahwa Vidi bukan orang biasa.

Tidak hanya itu. Saat maih menjadi siswa SMP ia sudah seberani itu melewat ketakmungkinan berpapasan langsung dengan Jokowi (9/4/2021) untuk menyerahkan sepucuk surat berisi kegelisahannya tentang Lembata antara lain tentang kelangkaan BBM, pengrusakkan bakau hingga kasus Awololong.

Tetapi tulisan ini tidak ingin membahas khusus tentang kematian Vidi. Kematian remaja cerdas ini hanyalah pintu masuk untuk bertanya: mengapa kasus bunuh diri ini sangat marak di antara remaja? Apa yang membuat mereka bisa memutuskan untuk mengambil cara yang tentu sangat tidak diterima publik ini?

Data menunjukkan di dunia, setiap tahun terjadi kasus bunuh diri antara 700- 800 ribu orang. Korbannya terjadi untuk semua usia. Tetapi fokus kita akan lebih ke usia 15 – 29 tahun yang dianggap cukup rentan dan terbukti bahwa pada batasan usia ini, bunuh diri merupakan penyebab kematian ke-4 di antara banyak sebab lainnya.

Bagi remaja, kasus seperti itu tidak hanya terjadi untuk anak-anak dari latar belakang keluarga kaya yang merasa sendirian di tengah keserbaadaan di rumahnya. Justru terjadi fakta mengejutkan bahwa justru 77% kasus bunuh diri itu tejradi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hal ini bisa menjadi penjelasan, mengapa kasus ini kian kerap kita dengar di negara kita yang berada dalam kategori negara yang mashi berkembang. Hal ini bisa jadi penjelasan, mengapa dalam beberapa waktu terkahir terjadi banyak anak bunuh diri, tak terkecuali di Lembata.

Teman, Akademik, Keluarga

Untuk remaja ada 3 faktor utama yang bisa menjadi penyebab remaja (kaum muda) memutuskan untuk bunuh diri: persoalan pertemanan; masalah akademik; dan masalah keluarga. Faktor lain tentu saja ada tetapi kita akan lebih fokus untuk mengelaborasi 3 faktor penyebab ini dalam diri kaum muda / remaja.

Terkait pertemanan merupakan hal yang sangat dominan. Masalah relasi menempati prosisi teratas sebagai sumber stres anak, demikian Hanlie Muliani, M.Psi, penulis buku Why Children Bully. Artinya memiliki dan bahkan tidak memiliki teman akan menjadi masalah. Orang yang memiliki teman baik bisa menjadi objek bully atau yang bisa disebut ‘’firendemy’, friend tetapi sekaligus enemy (musuh). Persoalan ini akan menjadi persoalan yang lebihi kompleks ketika berkaitan dengan teman dekat / lawan jenis yang akan memberikan beban psikologis yang tidak sedikit.

Persoalan akademik sumber stress. Secara umum, siswa/mahasiswa bisa dikategorikan dalam tiga kelompok: siswa pintar, siswa yang lemah secara akademik, dan siswa yang beada di antara keduanya. Masing-masing kelompok memiliki persoalan tersendiri. Anak-anak pintar kerap karena kecerdasannya menjadi ‘bulan-bulanan’ teman sebayanya yang berasal dari kelompok di tengahnya. Tingkah laku mereka sering menjadi sasaran bully.

Anak-anak yang lemah secara akademik kerap menjadi perhatian (kadang berlebihan) dari para guru. Cap negatif yang melekat pada mereka menjadi beban yang berat. Terkadang mereka merasa tidak berarti oleh begitu banyaknya dosis nasihat. Selain itu, guru tidak melihat kecerdasan besfit majemuk tetapi hanya fokus pada penguasaan mata pelajaran.. Hal itu membuat beban kian bertambah dan merasa seakan tertutup semua kemungkinan.

Hal terakhir yang jadi sumber stress adalah keluarga. Setelah dua beban eksternal (pertemanan dan akademik), harapan agar keluarga menjadi tempat dimana mereka diterima. Keluarga meestinya menjadi tempat terakhir mengadu bagi siswa. Tempat bisa dimengerti dan dimaafkan. Tetapi kerap kali, orang tua karena persoalan sosial-ekonomi bahkan memberikan beban yang membuat mereka tidak nyaman. Lebih lagi pada usia remaja kerap ditandai dengan renggangnya hubungan dengan orang tua. Hal ini menjadi penjelasan mengapa 70% siswa yang bunuh diri berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.

Lalu bagaimana mengantisipasi hal ini berkembang menjadi sumber darinya mengantar anak untuk bunuh diri?

Pertama, semakin penting peranan guru BK di sekolah. Dengan berbagai teknik, guru harus bisa membantu siswa mengungkapkan dirinya: persoalan, kecemasan, kegalauan. Guru BK yang diharapkan dapat menjadi teman hingga bisa mengakses pertemanan dan media sosial siswa. Melalui medsos, guru bisa memantau ekspresi para siswa dan menjdikannya bahan dalam bimbingan kepribadian. Selai itu akses guru terhadap latar belakang keluarga dan hasil belajar dapat menjadi awal darinya terjadi bimbingan akademik.

Kedua, keluarga perlu menjadi tempat paling baik bagi siswa untuk bisa kembali. Kata orang, rumah adalah tempat dimana hatimua berada. Sebuah ungkapan, meski beratnya persaingan yang membuat remaja cepat stress, tetapi ia tahu ada satu tempat yang memahaminya yaitu rumah: orang tua, keluarga, yang selalu memberikan topangan.

Pemahaman tentang keluarga ini perlu dijernihkan selalu kepada anak bahwa anak ikut ambil bagian dalam menciptakan suasana kekeluargaan (home). Dengan latar belakang pendidiakn yang mungkin saja jauh lebih tinggi dari orang tua, remaja perlu ikut ambil bagian dalam menciptakan suasana kekeluargaan. Mereka tidak hanya menunggu dan menuntut tetapi sejak awal ikut berpikir untuk ikut ambil bagian dalamnya.

Pemahaman ini akan menjadi hal yang penting terutama saat dimana seorang anak mengalami stress. Ia membayangkan bahwa mengambil keputusan untuk bunuh diri misalnya bukan menjadi persoalan karena ia seharusnya memberi solusi dan bukannya meninggalkan persoalan untuk keluarga yang masih ditinggalkan.

Dengan berpandangan seperti ini yang diharapkan adalah memunculkan keberanian untuk hidup (bukan untuk mati). Albet Camus filsuf yang tekenal dengan ‘absurditas’, tentang kontradiksi antara yang seharusnya dan kenyataan sangat mendambakan bahwa di balik kekecewaan antara harapan dan kenyataan terhdapat keberanian untuk hidup dan menghadapinya: “But in the end one needs more courage to live than to kill himself.” Inilah pesan kuat agar Vidi Making menjadi yang terakhir.

=======

Robert Bala. Penulis buku Memakanai Badai Kehidupan (Penerbit Kanisius, Jogjakarta, 2022, cetakan ke-2).

Komentar ANDA?