Anak Sekolah Lamaholot…. (Makna di balik sebuah lagu populer Lamaholot

0
2202

Oleh: Robert Bala

Hari Minggu, biasanya kami dengarkan lagu daerah. Lagu itu bisa dijadikan penyemangat untuk sambil dolo-dolo untuk berolahrga sampai berkeringat. Ya, model olahraga seperti ini lebih menyenangkan., Kalau olahraga sendiri selalu ada alasan. Tetapi sambil dolo, semuanya sudah termasuk: 3 in 1.

Kali ini lagu yang digunakan adalah “ANAK SEKOLAH LAMAHOLOT” yang sangat umum di bumi Lamaholot. Hanya ada dua kalimat yang masing-masing diulang

Anak sekolah lamaholot pesiar Larantuka, tenggelam di jembatan (2x)
Untung bae perahu Bugis datang membawa anak itu ke pulau solor e a e (2x).

Lagu ini begitu hidup dan popular. Juga sangat sederhana. Ada banyak group baik resmi maupun penikmat musik yang sudah memasangnya di Youtube. Kalau kita dengar, selalu ada rasa untuk mengulangnya beberapa kali.

Hari ini, iseng-iseng saya saya coba tulis (secara sederhana tanpa terlalu dalam sekali eh). Apakah ada makna di baliknya?

Ya tentulah. Dan masing-masing kita bisa tarik sebisanya. Berikut ini interpretasi saya yang tentunya bisa diterima juga bisa tidak.

Orang Bugis…

Ini sebuah keutamaan orang Lamaholot. Siapapun dia, termasuk pendatang dan dari agama manapun, kalau itu baik maka tidak hanya diterima tetapi juga disanjung, malah bisa dibuatkan lagu seperti ini: “Untung bae, perahu bugis datang…”.

Inilah iklim keterbukaan yang menjadi contoh. Di banyak tempat, masih ada sekat yang selalu membeda-bedakan orang, tetapi tidak untuk Lamaholot. Di sini, semua orang dianggap saudara, termasuk orang Bugis.

Bugis juga mewakili agama Islam. Dari sana terdapat kekraban dengan kaum muslim. Mereka hidpu bersama malah sampai ke hal-hal yang tidak bisa dipercaya oleh orang di bagian lain di negeri ini. Di Lamaholot, orang Katolik bisa jadi ketua panitia pembangunan mesjid dan sebaliknya. Itu baru orang Lamaholot.

Bugis juga mewakili pendatang dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Mereka yang pelaut (andalkan hidupnya dari laut) dengan segera ‘berbarteran’ dengan orang dari darat: “Asam di gunung, ikan di laut, ketemu dalam belanga”. Itu dari ‘sononya’ sudah tergambar hal ini.

Ke Pulau Solor eh…
Mengapa anak yang tenggelam itu diselamatkan dan dibawa ke Solor? Apakah anak itu orangtuanya dari Solor?

Bisa saja ya dari Solor. Mungkin saja mereka tanyakan anak itu (yang ditemukan hidup) lalu dibawa ke orang tuanya. Tetapi pilihan dibawa ke Solor juga bisa menunjukkan hal yang menjadi kelebihan (bisa disebutkan demikian) dari orang Solor: sangat ramah dan rendah hati.

Saya ungkapkan hal ini tentu tidak bisa diterima. Boleh ditentang. Dalam sebuah pembicaraan tidak resmi dengan seseorang yang ‘cukup terdidik’ asal Adonara, ia ungkapkan hal yang saya tidak percaya tetapi mungkin saja ini diyakini orang.

Kata dia, dalam mencari pemimpin (misalnya Bupati), ada semacam ‘kesombongan tersembunyi’ dari orang Adonara dan Flores Timur Darat. Ada rasa bahwa Bupati harus dari Adonara dan Flores Darat karena ada asumsi itu orang Solor itu ada ‘di bawah orang Adonara dan Flores Darat’.

Tidak tahu siapa yang memulai pandangan seperti ini. Tetapi bisa saja terbukti dalam kesaksian lebih dari satu orang. Artinya orang bisa membenarkan bahwa kalau ada calon pemimpin dari Solor, maka selalu dilihat ‘sebelah mata’.

Lalu, mengapa anak yang tenggelam itu dibawa ke Solor? Di sini lagu Lamaholot mengangkat keunggulan orang Solor. Sekali lagi, budaya Lamaholot yang asli itu saling menghormati. Tidak ada anggapan yang meremehkan orang lain. Orang Lamaholot selalu menghargai orang dan tidak pernah membeda-bedakan apalagi merendahkan.

Lalu siapa yang suka merendahkan orang dari asalnya? Tentu bukan leluhur Lamaholot yang sangat egaliter. Ia hanyalah pandangan sedikit orang yang mau jabatan lalu berusaha merendahkan orang dari suku atau pulau lain. Karena itu kalau mendekati pilkada nanti ada seperti itu, maka sesungguhnya ia bukan orang Lamaholot dan orang seperti ini yang harus diwaspadai.

Lalu apa pesan di balik lagu “Anak Sekolah Lamaholot?”Lagu ini mengingatkan sekaligus mengajarkan bahwa orang Lamholot dari ‘sononya’ sangat egaliter (tidak membeda-bedakan orang dari asal atau pulau). Juga orang Lamaholot dari ‘sononya’ sangat terbuka terhadap pendatang. Siapapun dari mananpun, kalau ia datang dan melakukan kebaikan, maka ia adalah saudara.

Apakah ini sejalan dengan pertanyaan Guru dari Nazaret tentang siapakah Ibu dan saudaraNya. Lalu Ia menjawab: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat 12, 48 – 50).

=========

Robert Bala. Penulis buku INSPIRASI HIDUP (Kisah kecil bermakan selama Pandemi). Penerbit Kanisius Yogyakarta 2021.

Komentar ANDA?