ANTARA BAHASA DAN MEDIA SOSIAL

0
741

Oleh: Dra. Christina Purwanti, M.Pd.

 

Problem tentang bahasa dalan media sosial, fokus utamanya adalah eksistensi bahasa dalam proses aksesibilitasnya dalam media sosial. Bahasa kerap dilihat sebagai instrumen utama bagi para penggunanya dalam relasi sosial bersama orang lain untuk menyampaikan maksud utama dan kehendak terdalam dari para penggunanya.

Media sosial sebagai instrumen utama dari para pengguna bahasa, ketika maksud dan kehendak terdalam dari para pengguna bahasa menjadi terbuka untuk diketahuai makna bahasanya secara terang-benderang oleh publik. Dengannya, eksistensi bahasa dalam media sosial menjadi fokus sebuah uraian yang bisa dianalisis pada pembahasan ini.

Bahasa dan media sosial dua kalimat yang maknanya bersifat inheren, bahasa dalam media sosial dan media sosial dikenal lewat bahasa.

Bahasa dapat disebut sebagai pembawa kebudayaan. Atau dengan kata lain yang dapat disebut secara langsung bahwa kebudayaan dapat dilihat sosoknya atau eksistensinya secara sempurna di dalam dan melalui bahasa. Melalui bahasa, siapa pun manusia mampu mentrasnformasikan segala pemikirannya mengenai obyek tertentu melalui simbol dan tanda, walau segala simbol dan tanda tersebut secara faktual tidak berada di tempat dalam artian ketika terjadi suatu aktivitas berpikir sedang berlangsung. Kemampuan setiap manusia dalam aktivitas berpikirnya selalu diformulasikan lewat setiap kata yang dirangkaikan atau lewat kalimat yang dikemukakan tentang makna dan simbol tersebut secara benar dan tepat.

Untuk menafsir simbol dan tanda secara benar dan tepat perlu adanya kesediaan untuk masuk ke dalam keberadaan teks di mana penafsir bertemu secara dialogis dengan teks dalam dialog antar being ( yang ada ) yaitu dalam kehidupan itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perlu untuk saling berdialog kehidupan di antara keduanya. Dari sinilah lahir dua model cara dalam memaknai sebuah teks yakni secara intrinsik yakni cara membaca teks dari “dalam” seperti mencari makna teks sastra semestinya dibaca melalui tema sastra, kode sastra, penokohan atau pun alur kisah yang tentu dalam novel sastra. Di samping itu ada cara membaca teks secara ekstrinsik yaitu cara membaca teks dari “luar” yakni menafsir sastra melalui ilmu-ilmu di luar teks seperti sosiologi sastra yakni mendekati sastra dan maknanya dari ilmu sosiologi. Demikian juga politik sastra yakni menafsir sastra dalam artian, mendekati makna sastra melalui politik. Konsekuensi yang terjadi dalam ketiga varian tersebut yakni bahasa, budaya dan media, seyogyanya merupakan sebuah proyek bersama dalam kerja teks, dan kita dihadapkan pada pilihan yaitu mau menafsirkan menurut makna ( meaning ) penulis teks sesuai aslinya, atau hanya mau mengambil nilai ( value ) atau hanya untuk mendapatkan kepentingan ( interest ) dalam membongkar sisi-sisi kepentingan penulisan teks dari disiplin ilmu dari luar teks. Di sinilah bahasa dapat menemukan konteks kepastiannya secara lebih mendalam lewat budaya dan media sosial ( bdk. Mudji Sutrisno, Cultural Studies, 2004:50 ).

Bahasa selalu hadir dalam ruang publik yang dapat dipandang sebagai teater raksasa di dalam suatu masyarakat modern ( baca: media sosial ), partisipasi siapa pun dalam media sosial lewat pemberitaan dalam media sosial, pembicaraan dan juga dalam diskusi. Ruang publik dalam media sosial sering kali dipahami sebagai ruang bahasa yang tentu sangat berperan sebagai penghubung antar ruang privat pengguna bahasa secara pribadi di satu sisi, dan ruang otoritas publik atau media sosial di sisi lainnya. Ruang privat diklaim sebagai yang berkaitan langsung dengan hal-hal yang bersifat pribadi seperti keluarga dan juga hubungan inter personal lainnya. Sedangkan dalam rana atau ruang publik selalu diklaim berkaitan dengan urusan-urusan menyangkut banyak orang yang selalu berkorelasi dan berkolaborasi dengan segala kepentingan bersama.

Semua proyek bersama itu; antara bahasa dan media sosial, terus terbaca secara terang-benderang oleh publik dan tugas kita sebagai penutur bahasa, mestinya tak henti-hentinya bersedia untuk menafsirkan makna bahasa sesuai arasnya.

Terima kasih

=========

Penulis adalah: Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan.

Komentar ANDA?