NTTsatu.com – KUPANG – Untuk memperoleh pengakuan secara hukum atas anak bernama ADITYA WIDHYA PRATAMA yang dilahirkan pada tanggal 20 Juli 2012 dari hubungan diluar nikah dengan oknum Anggota Polda NTT atas nama AKP. I Ketut Sedara maka pada tanggal 23 Maret 2018 Erna Thunggal selaku secara resmi mendaftarkan Gugatan Perdata melalui Pengadilan Negeri Kupang.
Dalam Gugatan Perdata yang diregistrasi dengan perkara nomor : 70/Pdt.G/2018/PN Kupang, diuraikan bahwa Penggunggat dan tergugat saling mengenal sejak bulan November 2010 dan dengan segala perhatian serta bujuk rayu oleh tergugat maka pada bulan Oktober 2011 penggugat dan tergugat melakukan hubungan intim layaknya suami – istri yang berlangsung terus menerus sehingga mengakibatkan pengguggat hamil oleh benih dari tergugat.
Kuasa hukum penggugat, Meridian Dewanta Dado melalui rilisnya kepada media ini, Rabu, 28 Maret5 2018 menjelaskan, awalnya tergugat mengaku sebagai seorang duda, namun setelah penggugat positif hamil barulah tergugat mengakui masih memiliki istri dan 2 (dua) orang anak.
Selanjutnya, Koordinator TPDI NTT dan juga advokat Peradi ini menulis, atas kehamilan penggugat yang semakin membesar dan agar buah hubungan terlarang tersebut tidak terdeteksi oleh masyarakat setempat maka tergugat meminta penggugat untuk melahirkan di kampung halamannya di Maumere – Kabupaten Sikka.
Sehabis cuti melahirkan di Maumere, penggugat kembali lagi ke Kupang dan hubungan antara mereka semakin serius yang ditandai oleh komitmen tergugat untuk menikahinya. Bahkan penggugat pun menuruti keinginan tergugat dengan berpindah keyakinan menjadi pemeluk Agama Hindu.
Seiring berjalannya waktu penggugat pun terus menagih komitmen tergugat untuk menikahinya, namun disisi lain tergugat justru mulai menghindar dari tanggung jawabnya termasuk kepada anaknya yaitu Aditya Widhya Pratama.
Akibatnya pada tanggal 24 Agustus 2017 pengguggat melaporkan tergugat ke Propam Polda NTT sesuai Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor : STPL/29/VIII/2017/Yanduan dengan tuduhan Perbuatan Asusila hingga penggugat hamil dan memiliki seorang anak tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Selanjutnya pada tanggal 9 Februari 2018 Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memutuskan bahwa tergugat yang ternyata sudah beristri dan memiliki anak 2 (dua) orang itu terbukti telah berhubungan badan layaknya suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah hingga hamil dan melahirkan seoarang anak yang kini telah berusia 5 tahun.
Walaupun dalam proses sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang dijalankan oleh Bidang Profesi Dan Pengamanan Polda NTT itu berhasil dibuktikan adanya perilaku tercela itu namun tergugat tetap tidak mau jujur mengakui sudah memiliki anak darah dagingnya sehingga hal itu tentu saja membuat sang anak kehilangan hak-hak keperdataannya dengan ayah kandungnya.
Dengan berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang menegaskan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Maka melalui Gugatan Perdata tersebut penggugat mohon agar Pengadilan Negeri Kupang yang memeriksa dan mengadili perkara berkenan memutuskan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan hukum bahwa tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan segala akibat hukumnya, menyatakan hukum bahwa Aditya Widhya Pratama yang dilahirkan. pada tanggal 20 Juli 2012 sesuai Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 4426/DTL/DKPS.KK/2012 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Kupang tertanggal 24 Agustus 2012 adalah merupakan anak hasil hubungan di luar nikah antara mereka berdua.
Juga menyatakan hukum bahwa tergugat merupakan ayah biologis dari seorang anak bernama Aditya dan menghukum tergugat untuk menafkahi anak itu sampai berusia dewasa berupa biaya hidup, biaya pendidikan dan biaya pemeliharaan kesehatan dengan jumblah total perbulan adalah senilai Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau pertahunnya senilai Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) X 12 bulan sama dengan Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Menghukum TERGUGAT untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari kepada penggugat setiap kali tergugat lalai untuk menjalankan isi putusan perkara ini terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, menyatakan sah dan berharga sita jaminan dalam perkara ini dan menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul akibat adanya perkara ini. (bp)