Oleh: Robert Bala
Eufori ETMC yg memasuki babak pemuncak. Aneka tontotan menarik dengan permainan bekelas ditampilkan. Gol bekelas dihadirkan membuat penonton terpukau. Dari bangku penonton, sorak gembira menyambut setiap atraksi menarik. Para ibu yang tidak pernah bayangkan bisa bergembira menyaksikan sebuah goal ikut terhipnotis.
Yang jadi pertanyaan, apakah mungkin luapan emosi ETMC XXX1 ini bisa terjadi tanpa figur penuh kontroversial seperti Eliaser Yentji Sunur (EYS)?
Kita tentu menjawab ya. Tanpa EYS, evet ini pasti terselenggaran. Gelora 99 adalah buah karya dari banyak orang Lembata. EYS yang hanya salah satunya. Dan kalaupun jadinya Gelora 99 disebut sebagai ‘tanda jamahan’EYS, itu pun tidak usaha berlebihan ditanggapi. Ia juga telah banyak ‘makan’ dari tanah Lepan Batan. Kalau ia bangun dari keringatnya, maka sebenarnya itu ia kembalikan sedikit dari yang pernah ia ambil.
Tidak hanya itu. Kematiannya yang justru terjadi saat ia lagi getol-getolnya berkeliling untuk meyakinkan koleganya untuk berpartisipasi juga tidak usah ditanggapi berlebihan. Malah sebaliknya perlu disyukuri. Sebuah wafat yang menguntungkannya (bisa disebut demikian). Pasalnya, secara fisik sudah terlihat tertatih-tatih seperti terekam saat mendampingi Jokowi dan Laiskodat. Langkahnya kelihatan tertatih-tatih menggambarkan kondisi fisiknya.
Tidak hanya fisik. Apa yang terekspresi keluar bisa saja lahir dari kondisi internal kebatinannya. Karena itu covid-19 yang menyerangnya seakan ‘dipasrahkan’ saja. Terbayang, betapa kasus Awololong, seperti makan bubur’telah tersisir dari pinggir. Diperkirakan tidak berapa lama lagi ia bisa tersasar.
Dengan narasi sepertinya sudah cukup untuk mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk melebih-lebihkan peran EYS. Malah seperti kata banyak orang yang (katanya) berpendidikan mengatakan tidak ada alasan apapun untuk mengenang EYS. Ia begitu banyak meninggalkan noda hitam. Meminjam Rinto Harahap dalam lagunya: Tangan Tak Sampai, kita seakan sepakat bahwa biarlah yang hitam, menjadi hitam, jangan harapkan jadi putih?
Tetapi masih adakah secercah harapan dan sebersit cahaya yang bisa dianggap hadir malah kian terlihat lebih bercahaya justru di tengah kekelaman dan kehitaman? Terhadap pertanyaan ini tentu kita bisa berbeda pendapat. Tetapi meminjam kata-kata Ronaldinho, pesepak bola asal Brazil cukup menarik: “I learned all about life with a ball at my feet.”
Yang ia ingin sampaikan, kaki tempat kita berpijak bisa mengajarkan banyak hal asalkan kita menunduk untuk melihat bahwa jalan yang kita lewati sekarang itu terjadi karena banyak kaki yang telah melewatinya.
Lalu apa yang bisa dipelajari dari ETMC ke-31 ini?
Pertama, kita tidak bisa menerima kegembiraan terlepas dari narasi historisnya. Upaya pembangunan GOR yang disebut ‘sangat boros’ dan menjadi objek kritik dalam arti tertentu bisa benar. Tetapi dalam kenekatan yang menghadirkan kegembiraan kini maka hal itu minimal menghadirkan rasa terimakasih seperti layaknya setiap orang yang disebut baik.
Pada sisi lain, mengakui kegembiraan dan eufori tanpa melihat jejak tertinggal maka dalam bola kaki bisa disebut ‘gol bunuh diri’. Disebut demikian karena kritikan yang berlebihan saat itu terlupakan tetapi tanpa disadari bereufori berlebihan. Disebut demikian karena si ‘EYS’ sudah wafat dan ia tidak punya kepentingan. Tetapi yang masih hidup justru membiarkan gol ke gawang sendiri dengan menerima eufori tetapi kritik menghitamkan segala masih begitu dominan.
Kedua, eufori selama ETMC ke-31 kembali mengajarkan bahwa apa yang ditanamkan pada periode lalu tidak bisa dinikmati seketika. ‘Pemborosan’ atau apapun cap pada masanya kerap tidak perlu dijawab. Yang ada hanyalah terus berjalan, hal mana merupakan ciri khas seorang pemimpin.
Hal ini tentu tidak bermaksud mendukung para ‘otoriter’ untuk ‘semau gue’ dalam bertindak. Tidak. Ia hanya mengingatkan bahwa apa yang telah dilakukan pada periode EYS bisa saja menjadi objek kritik tidak hanya saat itu tetapi juga kini. Tetapi yang pasti, apa yang sudah terjadi dan menjadi saksi kini tidak bisa disangkali keberadaannya.
Jelasnya, setiap orang bisa saja menolak dengan dalih apapun. Tetapi ia tidak bisa menyangkali keberadaan sesuatu yang sudah ada. Yang paling penting adalah belajar dari situ. EYS bisa saja dikritik karena terlampau berlebihan menempatkan pariwisata sebagai ‘leading sector’. Berbagai dana difokuskan ke sana. Kritikan itu tentu tidak tepat diarahkan kepadanya (karena sudah wafat) tetapi dijadikan pertimbangan untuk pemimpin sesudahnya. Pemimpn kini mestinya bisa menghadirkan sesuatu yang berbeda di atas studi kelayakan yang tepat. Tetapi ia tidak bisa menghabiskan energi dengan mengkritik pemimpn sebelumnya hanya karena berbeda darinya hal maan kerap terjadi. Kita semestinya melanjutkan atau minimal mengoreksi dengan tindakan bukan sekadar bicara.
Ketiga, ETMC ke-31 mengingatkan bahwa sepak bola adalah soal perasaan dan kecerdasan, hal mana disampaikan oleh “The Special One”, Jose Mourinho. Baginya, dari sepak bola kita bisa menata rasa kita yang kerap lebih didominasi oleh kebencian dan iri hati. Kita benci dan sedih dengan keberhasilan orang lain tetapi malah gembira ketika lihat orang lain susah.
Rasa itu pula yang membuat kita menghitamkan orang tanpa melihat sedikit putih yang ada dan memutihkan orang hanya karena senang dan kagum. Kita sebaliknya terajak untuk melihat sesuatu secara proporsioinal. Ada keyakinan bahwa rasa batin kita akan selalu benar ketika kita selalu mendengarkan. Dari kebeningan batin kita menerima kesuksesan dan kegagalan kita dan juga kesuksesan dan kegagalan orang lain. Itulah bisikan batin yang mestinya dimiliki semau orang mesti kerap tidak terdengarkan.
Pada sisi lain, rasa mesti tidak terpisahkan dari kecerdasan. Follow your heart but take your brain with your (Ikuti hatimu tetapi jangan lupa membawa otakmu). Ini sebuah ajakan bahwa setiap rasa mesti dicerahkan dengan otak. Rasa gembira (berlebihan) di saat ETMC ke-31 hendaknya tidak melupakan penggunaan kecerdasan bahwa setiap aksi tidak bisa lepas dari jejak kaki yang ditinggalkan.
Pada titik ini kita patut mengucapkan terimakasih EYS. Terimakasih karena nodamu yang kelam membuat cahaya kecil kami semakin berharga. Gol untukmu.
=======
Robert Bala. Penulis buku: INSPIRASI HIDUP (Pengalaman Kecil Sarat Makna), Penerbit Kanisius 2021.