Mengapa Mutu Pendidikan NTT Rendah? 

0
3386

Oleh: Dr. Hipolitus K. Kewuel

 

Perihal rendahnya mutu pendidikan NTT mencuat kembali beberapa hari ini setelah Gubernur Laiskodat mengujicobakan masuk sekolah jam 05.00 pagi WITA untuk 10 SMA/SMK di Kota Kupang. Dalam hal ini, Sang Gubernur melalui Kepala Dinas P dan K NTT, Linus Lusi berhasil membangunkan kita dari tidur panjang rendahnya mutu pendidikan NTT. 

Berbagai reaksi yang menghujat kebijakan tersebut bisa dimengerti, tetapi terus berada dalam suasana ‘perang dingin’ sesama anak NTT, tampaknya kurang elok dipandang bahkan kurang bertanggungjawab. Mesti ada upaya bersama untuk memikirkan bagaimana sebaiknya mutu pendidikan NTT itu dibangun. 

Menurut saya, ada dua hal kunci yang perlu dipermenungkan dan kemudian dilakukan; mengapa mutu pendidikan NTT rendah (tulisan ini) dan apa upaya jujur yang bisa dilakukan untuk meningkatkannya (tulisan selanjutnya). Kedua upaya ini perlu dilakukan dengan kepala dingin antara kepala daerah, dinas terkait, dan para stakeholders pemerhati mutu pendidikan NTT. 

Perlu juga, upaya-upaya ini dilakukan dengan hati yang lapang tanpa tendensi politik dan kepentingan uang, tanpa upaya mencari salah-benar dan kalah-menang. Tidak ada arti semua itu kecuali semakin menghancurkan mutu pendidikan NTT.     

Bukan baru kali ini saja kita tahu bahwa mutu pendidikan NTT rendah. Sudah bertahun-tahun, NTT menduduki rangking mutu pendidikan yang rendah di tingkat nasional. Sudah berkali-kali NTT disindir oleh para petinggi negeri ini karena mutu pendidikannya yang jelek dan rendah kualitasnya. Mengapa kita tidak rendah hati merefleksikannya? Mengapa kita tetap congkak membuat keputusan-keputusan konyol yang tidak menunjukkan keseriusan mengelola mutu pendidikan?

Mari kita lihat sejenak beberapa sebab lemahnya praktek kurang bermutu pendidikan di NTT. Pertama, karena terlalu dominannya otoritas pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) yang menekan pengelola sekolah sehingga membuat mereka menjalankan tugas tidak dalam kebebasan, tetapi dalam suasana ketakutan yang luar biasa. Mereka takut menggunakan dana karena khawatir salah nomenklatur. 

Lalu setiap program yang ditawarkan dari pihak luar sekolah serba dicurigai. Diskusi tentang substansi program tidak pernah masuk dalam kerangka pikiran mereka karena otaknya sudah ditutupi oleh asumsi bahwa di ujung program ada konsekuensi dana. Lalu diskusi umumnya berjalan normatif (basa-basi) tanpa tindak lanjut. Hal yang mereka respek adalah hal yang wajib dan rutin, itu pun penuh dengan kalkulasi untung rugi bukan demi lembaga atau kepentingan masyarakat yang dilayani, tapi demi “beta dapat berapa?”          

Hal ini berdampak pada hilangnya kreativitas mereka menginterpretasi panduan kerja dan logika penggunaan dana hingga aktivitas sekolah hanya berjalan standar tanpa terobosan; datang, masuk kelas, dan pulang. Besok berulang begitu lagi. 

Para kepala sekolah sibuk mengikuti sosialisasi di mana-mana lalu lupa membuat program sendiri untuk disosialisasikan kepada warga sekolahnya sendiri. Hal yang mereka buat adalah menurunkan perintah dari atasan dalam suasana penuh tekanan. 

Kita terjebak dalam rutinitas sekolah sehingga bisa dimengerti, aktivitas sekolah penuh dengan kejenuhan sehingga banyak kasus muncul dari sekolah; guru pukul murid, murid kejar guru, murid tawuran antar sekolah, orangtua protes kebijakan sekolah, kepala sekolah masuk bui, dan masih banyak litani miring yang diproduksi dari sekolah.      

Padahal, untuk menjadi bermutu, sekolah harus bisa melakukan sesuatu di luar standar sebagai nilai lebih. Bukankah hari ini semua bidang kerja, sekolah, desa, kabupaten/kota, propinsi bahkan setiap pribadi kita diminta untuk mem-branding diri?

Semuanya itu akan semakin ber-branding kalau mereka memiliki sesuatu yang unik, beda dari yang lain. Intinya, harus ada sesuatu yang dibuat di luar rutinitas. Apakah ide masuk sekolah jam 05.00 pagi adalah bagian dari branding pendidikan NTT? 

Iya kalau itu adalah turunan dari ide briliyan sebagai dasar branding-nya. Kalau hanya sebatas “pokoknya”, itu hanya akan menjadi mercon yang siap meledak di tangan dan menewaskan pemiliknya.

Kedua, karena pelaksanaan program kerja hanya berjalan rutin, tidak didasarkan pada rencana strategis yang mengarah pada sebuah capaian target demi kemajuan. Semuanya seperti mengalir begitu saja. Tidak ada strategi yang dibangun, tidak ada hal baru, padahal itu penting demi membangun andrenalin dan semangat kerja.

Kurang maksimalnya ‘greget’ bagaimana supaya kualitas proses belajar mengajar berkembang dari waktu ke waktu juga menjadi persoalan akut di sisi yang lain. Memang ada banyak pelatihan yang diikuti guru-guru, tapi itu program yang dirancang dari luar dan bukan datang dari dalam unit kerja sendiri. Intensinya sekedar mengikuti program, bukan untuk menambah nilai lebih profesionalisme guru. Paling banter untuk mendapatkan tambahan tunjangan profesi guru.   

Kurang maksimalnya upaya untuk menjamin kualitas guru juga jadi masalah lain. Maaf, selama ini kualitas guru kita umumnya hanya bertumpuh pada ijazah pendidikan terakhirnya. Kalau toh ada upaya, itu dijamin pasti datang dari otoritas di atasnya, misalnya mengikuti pelatihan profesi dan lain-lain. Jarang inisiatif penjaminan mutu guru itu datang dari unit kerja atau sekolah itu sendiri.

Soal kenyamanan siswa menjalani proses pembelajaran di sekolah juga menjadi soal di sisi yang berbeda. Selama ini, konteks ini baru dipahami secara fisik sehingga hampir setiap tahun ada tambahan unit bangunan baru, pembangunan taman, dan lain-lain. Kita alpa memikirkan kenyamanan siswa dari segi psikisnya, padahal itu paling menentukan keberhasilan studi mereka. 

Apakah pembagian jurusan dan pendekatan pembelajaran sudah sesuai dengan bakat dan minat siswa? Pemerintah pusat telah menggariskan pemetaan SDM siswa sebagai bahan pertimbangan penentuan jurusan dan panduan pendampingan. Tapi apakah itu sudah dilajani dengan sesungguhnya? Sepemahaman saya, program tersebut baru sekedar memenuhi data administratif, tapi belum demi menjamin kenyamanan dan kesehatan jiwa siswa di sekolah.

Kalau Gubernur Laiskodat dengan bangga mengatakan bahwa sebagian besar dana APBD NTT (50%) dialokasikan untuk aktivitas pendidikan, untuk apa saja dana sebesar itu dipakai selama ini? Mengapa tidak maksimal memfasilitasi core bisnis pendidikan; menjamin kualitas proses belajar mengajar, menjamin kualitas guru, dan memastikan siswa nyaman belajar di sekolah? 

Ini kealpaan besar yang harus segera disadari dan ditata kembali. Ternyata NTT tidak kurang uang untuk menata pendidikan. Kita hanya kurang orang yang memiliki pemikiran briliyan untuk membangun mutu pendidikan NTT. Sementara itu, banyak orang NTT punya kapasitas, tapi tidak punya kuasa dan otoritas lalu mereka hanya gigit jari, tatkala berhadapan dengan mencuatnya fenomena-fenomena lucu semacam ini. Mungkinkah ada ruang dengar pendapat untuk memecah persoalan mutu pendidikan NTT ini?              

========

Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Malang

Komentar ANDA?