Penghapusan Fungsi Penuntutan KPK Tidak Benar

0
767
Foto: Petrus Salestinus, Koordinator TPDI dan juga Advokat Peradi

NTTsatu.com – RUTENG – Permintaan Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo agar fungsi “Penuntutan Tipikor” yang dimikiki KPK dihapus dan dikembalikan ke Kejaksaan, dinilai tidak realisitis, tidak etis bahkan sebagai bentuk pembangkangan atau insubordinasi dari seorang Pembantu Presiden terhadap Presidennya sendiri.

Petrus Salestinus, Koordinator TPDI dan juga Advokat Peradi melalui rilisnya yang diterima, Kamis, 14 Agustus 2017 menyatakan, gagasan Jaksa Agung H.M Prasetyo itu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang dimiliki oleh masyarakat saat ini. Gagasan Jaksa Agung HM. Prasetyo, secara langsung tidak langsung sudah ke luar dari relnya bahkan  ikut menari di gendang orang yaitu Pansus Hak Angket KPK yang dibaca publik sebagai memperlemah KPK.

Jaksa Agung H.M. Prasetyo sepertinya tidak menangkap kesan publik selama ini yaitu bahwa Lembaga Kejaksaan oleh sejumlah orang selama ini hanya dijadikan sebagai “bunker” untuk berlindung dari jeratan kasus korupsi besar yang dibidik oleh KPK.

Artinya sejumlah “koruptor” lebih memilih kasusnya ditangani oleh Kejaksaan Agung daripada oleh KPK, karena di sana (Kejaksaan) masih bisa terbuka ruang untuk mendapatkan karpet  merah seperti SP3 atau SP2P dan kemudahan lainnya sehubungan dengan kasus korupsi yang sedang ditanganinya.

Dia menyatakan, Prasetyo seakan-akan menutup mata terhadap rendahnya prestasi Institusi yang dipimpinya, yang selama reformasi hanya dijadikan “bunker” atau tempat berlindung oknum-oknum yang terlibat kasus korupsi besar yang kasusnya ditangani dengan jarak waktu lama dan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian dan tanpa alasan yang pasti.

Belum lagi ada beberapa kasus korupsi  yang sudah ditetapkan tersangkanya tetapi satu-satu berujung dengan SP3 atau SP2P. Padahal kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung itu tergolong kasus besar yang menarik perhatian publik karena dilakukan oleh orang-orang kuat secara ekonomi dan politik  dengan angka kerugian yang nilainya sangat fantastik.

Selama 19 tahun reformasi, Kejaksaan sangat minim melahirkan prestasi besar dalam pemberantasan korupsi. Kejaksaan belum memperlihatkan niatnya secara sungguh-sungguh untuk berbenah diri, mengubah pola kerja Jaksa-Jaksa yang masih marak ber KKN-ria dalam penanganan kasus-kasus sehingga kena OTT KPK.

Dengan demikian, maka usul Jaksa Agung  H.M. Prasetyo dimaksud, sangat tidak realisitis dan tidak etis, terlebih-lebih pada saat yang bersamaan Presiden Jokowi telah menyatakan sikapnya untuk tetap memperkuat KPK dan meminta agar semua pihak mendukung KPK, mengingat KPK sedang menghadapi upaya banyak pihak baik atas nama Pribadi, Partai Politik dan atas nama Lembaga Negara/DPR RI  sedang mencoba memangkas beberapa wewenang KPK dengan berbagai cara.

Karena itu Jaksa Agung H.M Prasetyo dan Lembaga Kejaksaan bisa digeneralisir sebagai kelompok yang berada dalam barisan untuk bersama-sama Pansus Hak Angket KPK memperlemah KPK. Jika pandangan Jaksa Agung H.M Presetyo ini tidak segera diralat disertai dengan pembenahan yang sungguh-sungguh di internal Kejaksaan, maka publik dapat saja menganggap bahwa sejumlah Pejabat Negara atau Penyelenggara Negara pada level Pembantu Presiden, saat ini memiliki agenda tersendiri melakukan pembangkangan/insubordinasi terhadap kebijakan dan pesan Presiden Jokowi agar KPK tetap kuat dan harus diperkuat.

Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan pesan bahwa KPK harus tetap kuat dan tidak boleh diperlemah. Itu artinya seluruh Pembantu Presiden termasuk Jaksa Agung harus mampu mengelaborasi pesan Presiden Jokowi itu dengan  sikap konkrit  yaitu menempatkan Jaksa-Jaksa terbaik di KPK, bukan sebaliknya. (*/mus)

Komentar ANDA?