Proyek Awololon Dalam Perhatian Komisi III DPRD Lembata

0
394

NTTsatu.com – LEMBATA – Membahas proyek Awololon dalam Rapat Dengar Pendapat yang digelar antara komisi III DPRD Lembata, bersama Dinas teknis dan PPK juga konsultan di ruang rapat komisi III seolah mengurai benang kusut.

Dalam rapat yang digelar Komisi III yang dipimin Ketua Komisi Antonius Molan Leumaran, Sabtu, 02 Noveber 2019, terkait polemik yang terjadi di masyarakat di destinasi wisata Awololon. Rapat tersebut seakan menjawab isu dan spekulasi yang berkembng di tengah publik Lembata.

Petrus Bala Wukak anggota komisi III dalam kesempatan tersebut mengatakan, tugas DPRD dan Pemerintah adalah meletakan program dan kerja ini sesuai aturan dan regulasi yang ada.

“Kami juga ingin tahu soal remomenasi terkait temuan BPK itu seperti apa? Karena soal Awololon sudah dua kali dilaporkan ke KPK. Apakah pihak teknis sudah pernah dipanggil atau diperiksa Polres atau Kejaksaan saya minta agar dijelaskan. Lalu kami minta juga agar progres kerja dijelaskan kepada kami seperti apa,” ketanya.

DPRD sebagai fungsi pengawasan dan penganggaran, jadi DPRD cukup hati-hati karena itu mereka minta untuk dijelaskan posisi proyek ini seperti apa? Sehingga jangan sampai karena proyek ini, secara politik dilapangkan mereka jadi korban karena itulah, diminta untuk dijelaskan secara terbuka.

Anton Lewumaran menjelaskan, program kegiatan ini masuk pada mendahului perubahan APBD. Penetapan RPJMD itu di Januari, dimana APBD telah disahkan. Mendahului perubahan I, itu kewenangan ada pada pimpinan dan, mekanisme tidak dibahas melalui komisi.

Catatan BPK soal Awololon, proses awal tidak masuk dalam APBD murni namun, muncul ketika diajukan mendahului perubahan I, sehingga masuk dalam perubahan murni (Perbup 41).

Bahwa benar proses perencanaan tidak dalam Musrembang dari bawah hanya, ketika dilakukn penyeasuain RPJMD baru muncul program Awololon. Pagu indikatif, pembuatan adendum yang kurang memadai, denda keterlambatan yang belum dipungut termasuk adendum waktu tidak sesuai ketentuan yang merupakan point yang direkomendasi BPK hrus dijelaskan kepada DPRD.

“Pembayaran terkait pekerjaan dasar hukumnya apa? hal ini dijelaskan agar publik tidak berpolemik dan tahu secara baik,” kata Anton.

Sementara itu, Gabriel Raring pada kesempatan itu mengatkan, dia senang karena prinsip kehati-hatian namun sedkit kontradiktif antara penjelasan dengan situasi lapangan.

“Harusnya soal Awololon dimulai dari Musrembang, jadi baginya ini cacat prosedural. Tentang Bagimana kajian akademis terkait pembangunan ini? Apakah ada disosialisasi dengan pendekatan partisipatif atau tidak? Siapa membuat akademis, apa respon masyarakat terkait rencana kerja ini? Kami minta data atau cerita menyeluruh agar kami dapat informasi yang komferhensip dan mendalam terkait proyek awolon ini,” katanya.

Anggota Fraksi PAN, Hasan Baha mengungkapkan bahwa, dia pernah sampaikan kekewatiran soal pembangunan Awololon ini, jangan sampai duit yang dikeluarkan bisa sia-sia.

Baha mengatakan, teman-teman pemerintah harusnya lebih hati-hati. Ini Proyek besar dengan anggaran yang juga besar. Pemerintah harusnya sudah tahu ini ketika polemik dimasyarakat tapi pemerintah sepertinya tidak siap.

“Yang juga menjadi pertanyaan, ketika dilakukan pembayaran namun, barang masih dibandung apakah boleh bisa dilakukan pembayaran? Kami di fraksi secara politis sudah menyatakan sikap menolak penganggaran luncuran Rp 1,7 miliar itu, apalagi duit Rp 5 m sudah cair, kita mau bagimana?. Tapi menurut saya teman-teman pemerintah tidak terlalu cukup siap,” kata Hasan Baha.

Pimpinan Komisi III Anton kembali mempertegas bahwa Soal pencairan ini menjadi polemik di publik sehingga harus mendapatkan penjelasan mendetail dari pemerintah.

Menjawab pertanyaan anggota komisi III tersebut, Kadis Pariwisata, Apolonaris Mayan mengatakan, terkait proses awal, bahwa dinas menggunakan anggaran sepatutnya ketika sudah melalui prosedural penetapan.

Pada tahun anggaran 2018, pemerintah bersama lembaga DPRD melakukan penyesuaian, program dan anggaran melalui mendahului perubahan I, APBD Lembata karena, APBD 2018 ditetapkan lebih awal dari pengesahan RPJMD 2017-2022. Terkait pembayaran 80% sudah sesuai mekanisme dan regulasi yang berlaku.

Dalam Perpres 54/2016 banyak ruang yang diberikan dimana salah satunya adalah dengan keyakinan PPK dan apa yang sudah dilakukan sesuai dengan regulasi dimana, tidak merugikan keuangan negara.

“Kami paham bahwa DPRD dalam fungsi pengawasan namun, kemudian apabila terjadi kerugian negara maka, kami yang paling beresiko akan hal itulah, kami selalu berhati-hati,” ucap Apol.

Menjawab apa yang dipertanyakan Hasan Baha, kenapa harus bayar?,  Itu karena semua barang yang diperlukan untuk membangun Jeti apung dan kolam renang apung sudah ada.

Terkait progran Awololon memang, tidak melalui Musrembang karena saat APBD 2018 ditetapkan RPJMD belum ditetapkan kerenanya ketika sudah ada dibuat penyesuaian.

“Memang kita tidak lakukan sosialisasi secara umum namun, kami hanya lakukan kepada pihak-pihak terkait. Sementara soal kajian akademis kami kerjasam dengan Undana. Sosialisasi secara hirarkis namun mungkin tidak sampai ke bawah,” jelasnya.
Terkait temuan administrasi tersebut, sudah memberi penjelasan kepada BPK dan soal denda sudah dilakukan penagihan sebesar Rp140 juta. “Kelemahan kami bahwa sosialisasi belum menukik dan tidak sampai ke bawah sehingga mungkin ada yang memanfaatkan untuk melahirkan isu baru,” terang Apol.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Silvester Samin dalam kesempatan tersebut mengatakan, memang ada banyak hal yang tidak saling komunikasi sehingga, banyak informasi yang kemudian didapatkan terpisah-pisah namun, perlu  bersyukur komisi III memberi ruang rapat dengar pendapat  sehingga bisa saling bicara, ungkap mantan Plt kadis Kesbangpol Lembata.

Dijelaskan Samun, dia ikuti persis hampir semua seremonial yang dilakukan dalam kota. Makanya ketika ke Baolangu dia ikut.

“Saya minta mereka untuk menentukan titik rumah adat di Awololon, dan saya percaya semua cerita soal Awololon,” katanya.

Saat ini banyak Isu yang berkembang, lalu soal pencairan 80%, waktu di BPK dia sudah diperiksa tiga hari dan soal denda keterlambtan tidak berubah sesuai dalam kontrak induk.

“Temuan BPK materil Rp 149 juta, sudah saya minta dibuat dan sudah dibayar. Pembayaran kami lakukan lebih pada, Pekerjaan pabrikasi 80%, lihat dikontak dan RAB kami apakah, disusun terpisah antara pengadaan dan fisik,” terangnya.
Dan pembayaran 80% dalam pembahasan LKPJ APBD, sudah disampaikan pemerintan. Termasuk didalamnya soal pencairan anggaran Awololon, terang ketua PPK. (*/tim)

Komentar ANDA?