Memaknai Misi Secara Holistik di Hari Kenaikan Tuhan

0
1084

Oleh: Germanus S. Attawuwur

DETIK-DETIK terakhir terangkat-Nya Yesus ke Surga, dilukiskan oleh Penginjil Lukas dalam Kisah Para rasul sebagai berikut:” Yesus membawa murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun. Di bukit ini, murid-murid mau agar Yesus memulihkan Kerajaan Israel. Mereka ingin agar Yesus menjadi Raja Israel.

Menanggapi permintaan para murid, Yesus berkata: ”Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.” Yesus bahkan mengingatkan para murid agar siap menjadi rasul. Sesudah itu, terangkatlah Ia disaksikan oleh para murid dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka (Kis. 1:9).

Dua ribu dua puluh tahun silam, Yesus terangkat ke Surga disaksikan oleh kesebelas murid-Nya dalam kesunyian di Bukit Zaitun. Kisah silam itu nyaris tiada bedanya dengan situasi yang kita alami sekarang. Corona Virus seolah masih memaksa kita untuk tetap beribadat dari rumah, untuk mengenangkan perayaan mulia ini.

Kita merayakan dari rumah tanpa lagu-lagu meriah. Kita merayakannya dalam keheningan. Kita muliakan dalam kesendirian. Kita agungkan tanpa kehadiran umat yang lain. Di dalam kesunyian itu kita menyaksikan dahsyatnya perbuatan tangan Tuhan memuliakan Putra Tunggal-Nya dalam peristiwa suci ini.

Sebelum naik ke Surga, Yesus menggembleng sendiri kesebelas murid-Nya. Yesus menempah mereka secara serius selama 40 hari sesudah Ia bangkit. Ia mempersiapkan perutusan mereka melalui pengajaran dan juga teladan hidup-Nya.
Oleh karenanya, dalam Injil Mat 28:19b-20, Yesus dengan penuh kepastian mengutus mereka, kata-Nya: ”Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku-perintahkan kepadamu.”

Yesus kemudian mengingatkan mereka bahwa dalam perutusan itu, mereka tidak sendirian. Mereka akan selalu disertai oleh Yesus dalam Roh Kudus, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat.28: 20b).”

Dari Bukit Zaitun, Yesus mengutus murid-murid-Nya menjadi Rasul. Ke manakah mereka bersaksi? Kisah Para rasul dengan jelas menyebut nama tempat itu, di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8b).
Tempat-tempat yang disebutkan di atas menjadi daerah misi pertama para rasul. Maka, tercatatlah baik dalam Kisah Para Rasul dan beberapa Surat Paulus maupun dalam Tradisi Gereja bahwa murid-murid itu pergi mewartakan Injil ke ujung dunia.
Petrus memimpin rasul lain untuk menjadi pemberita Kabar Baik di Yudea (Kis.3:11-26). Dia kemudian ke Samaria, setelah mendengar bahwa orang Samaria sudah percaya kepada Injil. Ia pergi bersama Yohanes meneguhkan mereka.
Selain itu, Petrus menjadi Rasul pertama yang diutus untuk memberitakan Injil di luar bangsa-bangsa non Yahudi (Kis 10:1-48). Ia kemudian pergi ke Lida, Yope, Antiokia dan terakhir ke Roma. Sementara itu Kisah Para Rasul 8:5-14, melukiskan bahwa Filipus pergi ke kota Samaria dan memberitakan Injil di sana.

Sedangkan Andreas saudara Petrus menurut buku Acts of Andrew, mewartakan Injil di Makedonia. Rasul Tomas menjadi perintis Pekabaran Injil di Kerajaan Partia. Dia Pertama kali membawa berita Injil ke Malabar dan Tranvancore-India Selatan.
Selain itu, Rasul Matius menjadi penginjil di Partia dan Ethiopia. Bahkan kemudian dia dikenal sebagai penulis Injil Mateus. Sementara itu, Yohanes Anak Zebedeus melayani Injil dan memimpin jemaat sampai masa tua dan meninggal di Efesus setelah dia menjalani pembuangan di pulau Patmos.

Dalam waktu bersamaan, Rasul Filipus melakukan pelayanan pemberitaan Injil di Asia Kecil, sekarang wilayah Turki. Sedangkan Natanael yang juga disebut Bartolomeus melayani di Mesopotamia, Likoania, dan Armenia.

Filipus menjadi misionaris di beberapa negara di Asia, antara lain ia memberikan kesaksian di Turki. Kemudian Yakobus anak Alfeus mewartakan Injil sampai ke Spanyol, Inggris dan Irlandia dan kemudian kembali ke Yerusalem. Akhir pelayanannya di Persia.

Demikian pun Thadeus, melakukan pelayanan pekabaran Injil di Syria, tepatnya di Edesa, di kemudaian hari, setelah kejatuhan Yerusalem, Edesa menjadi pusat Kekristenan dan Perkembangan Gereja mula-mula. Ia juga pernah ke Persia.

Begitu pula Simon Orang Zelot menjadi penginjil di Mesir-Afrika, kemudian di Inggris, lalu kembali ke Mesir. Setelah penginjilan di Mesir, Simon Orang Zelot bergabung dengan Tadeus di Syria dan Persia. Demikianlah daerah-daerah yang menjadi tujuan dan pusat pekabaran injil yang dilakukan oleh para rasul sesuai mandat yang diterima dari Yesus saat hendak naik ke surga.

Para Rasul akhirnya pergi ke ujung dunia, sesuai mandat yang diberikan Yesus. Dalam konteks kita sekarang, haruskan kita memahami terminologi “ujung dunia” sebagai sebuah tempat yang nun jauh di sana? Ataukah ujung dunia semacam “pembatasan” sebuah tempat dan ruang bagi sebuah karya pewartaan?

Di zaman post modern ini, kita mesti segera keluar dari paradigma ujung dunia sebagai sebuah lokus. Jarak, tempat dan waktu bukan lagi jadi ukuran bagi sebuah karya perutusan. Maka supaya mandat pengutusan itu tetap relevan di zaman ini, paradigma lama harus diubah.

Paradigma baru ‘ujung dunia’ adalah bermisi secara kontekstual. Maka, pemahaman dan penerapan misi mesti holistik. Jika misinya holistik maka tidak hanya cura animarum (penyelamatan jiwa), tetapi mesti juga cura hominum (penyelamatan manusia) seutuhnya, lahir dan bathin; tak terkecuali misi penyelamatan bumi.
Dengan demikian, selain mendoakan sama saudara kita yang sedang diobati karena terserang corona virus, kita juga meneguhkan sama saudara yang sedang gelisah karena kehilangan pekerjaan akibat PHK. Tindakan ini merupakan misi.

Misi lain yang tak kalah mendesak adalah bermisi secara ekologis. Mengobati dan menyembuhkan ibu dan saudara kita bumi yang sedang terluka parah oleh karena berbagai tindakan manusia yang merusak ekosistem alam.

Menjahit kembali rahim ibu bumi yang telah terkoyak dengan reboisasi lantaran ilegal logging yang menggila merupakan keharusan dan tugas mendesak kita bersama. Kita bersinergi menata kembali bumi dari menggunungnya sampah-sampah plastik dengan menempatkan sampah pada tempatnya.

Pada gilirannya, kita pun mesti kembali bermisi secara internal, bermisi ke dalam kalangan kita sendiri, untuk menjadi pengikut Kristus yang semakin militan dan berkualitas dalam iman dan amal. Kita haarus menjadi orang kristen yang ekologis. Misi kita mesti menghasilkan para pengikut Kristus yang 100 % Katolik dan 100 % Indonesia. ****

*) Penulis: warga asal  Lembata tinggal di Kota Kupang

Komentar ANDA?