NTTsatu.com – MAUMERE – Masalah pembangunan bungalow “liar” di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gunung Sari Kecamatan Alok masih terus menjadi diskursus di tengah masyarakat. Sejalan dengan itu pemerintah juga terus berupaya membuat alibi bahwa bangunan tersebut berada dalam kawasan enklave.
Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu di Gedung DPRD Sikka, menanggapi dingin soal ini. Dia menyebutkan kawasan tempat dibangunnya usaha jasa wisata itu merupakan enklave. Sehingga dia tidak merasa heran jika ada warga masyarakat yang memiliki tanah dan menjualnya kepada pengusaha.
“Di sana itu kan daerah enklave. Ada kepemilikan tanah, jadi kalau mereka (PT Aly Naga Samusdra) membeli dari pemilik tanah, yah itu urusan mereka,” jawab Yoseph Ansar Rera.
Sebelumnya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kensius Didimus yang dihubungi pekan lalu di Kantor Bupati Sikka, juga berkeyakinan bahwa itu adalah kawasan enklave. Dia beralasan karena ada pemukiman masyarakat.
“Saya ini juga mengikuti bahwa di sana adalah daerah konservasi dan TWAL, tetapi sesungguhnya bukan hutan premier. Itu harus digarisbawahi. Di sana itu ada pemukiman masyarakat, daerah enklave. Nah ini bisa digarisbawahi,” jelasnya menekankan poin-poin yang harus digarisbawahi.
Kensius Didimus mengatakan karena keyakinannya itu adalah kawasan enklave, maka Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Energi harus mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar mengeluarkan wilayah tersebut dari konservasi.
“Harusnya teman-teman KSDA melihat wilayah di sana itu adalah wilayah pemukiman. Saya boleh katakan pemukiman, karena di sana itu bukan hutan premier. Mereka bisa mengajukan surat permohonan ke Kementerian yang istilahnya itu Peta Indikasi Penundaan Pemberian Izin Baru. Bupati juga bisa menyampaikan kalau di sana sudah menjadi daerah pemukiman, bukan hutan primer,” tambahnya.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah IV Maumere Agustinus Djami Koreh yang dihubungi di kantornya, Senin (2/10), tidak mau menanggapi serius pernyataan dari Yoseph Ansar Rera dan Kensius Didimus. Dia beralasan tidak punya kewenangan untuk menanggapi pernyataan tersebut.
Meski demikian, Agustinus Djami Koreh menjelaskan bahwa sampai saat ini semua pulau di daratan masih menjadi bagian dari kawasan konservasi. Pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dan boleh mengajukan review agar daerah-daerah tersebut dikeluarkan dari kawasan konservasi. Tetapi persoalannya tidak segampang itu, karena harus melalui mekanisme dan tahapan-tahapan.
“Kalau ada kepentingan pemerintah di dalam kawasan itu, silakan diajukan. Itu kapasitas pemerintah daerah, bukan kami. Bisa dengan mekanisme enklave, bisa dengan mekanisme review. Nanti yang review juga ujung-ujungnya enklave,” jelas dia.
Jika ada usulan dari pemerintah untuk mengeluarkan daerah-daerah tersebut dari kawasan konservasi, maka kementerian akan membentuk tim teknis untuk melakukan cross check, melihat kondisi eksiting, dan kemudian menganalisa. Dari hasil kerja tim teknis, pihak yang mengajukan usulan akan dimintai pendapat. Jika sudah ada kata sepakat, kementerian akan mengajukan konsep usulan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.
“Khusus kawasan konservasi harus melalui persetujuan DPR RI. Kalau sudah diketuk palu, nanti ada tahapan secara legal formal, awalnya kita sket, lalu bikin tata batas ulang, mana yang masuk dan mana yang tidak,” tambah dia.
Informasi yang dihimpun media ini, pemerintah setempat sudah mengajukan review tata ruang di kawasan konservasi Teluk Maumere. Namun sampai saat ini belum diketahui apakah sudah disetujui DPR RI atau belum. Agustinus Djami Koreh sendiri mengaku belum pernah mendapatkan perintah untuk melakukan tata batas ulang. (vic)