PEMIMPIN POLITIK DAN DEMOKRASI

0
802

Oleh: Thomas Tokan Pureklolong

DALAM  nostalgia politik, Abraham Lincoln dalam pidatonya di Makam Pahlawan Tentara Nasional Gettysburg, Pennsylvania, 19 November 1863,
tentang Demokrasi.

Dengan lantang, Abrahan Lincoln menyampaikan sebuah adagium terkenal pada jaman itu, yang tetap relevan hingga dewasa ini: “Is a government of the people by the people and for the people” ( Sebuah pemerintahan/kedalautan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ).

Adagium itu bagi saya, lahir dari pemikiran seorang pemimpin yang selalu cair ( baca: mendahulukan ) atas kepentingan rakyat dan menjadi nyata dalam perilaku politik di setiap perjuangan politiknya.

Tempat di mana ia berpidato adalah Makam Tentara Nasional Amerika Serikat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa adagium ini sebetulnya menjadi adagium awas, bagi siapa pun penduduk Amerika Serikat yang mau terjun dalam dunia politik; seharusnya bisa berjuang secara gigih untuk membela kepentingan bersama. Dengan kata lain yang sedikit lebih cair yakni siapa pun yang mau mengenal, memahami dan mau melayani rakyat sebagai pemimpin bagi penduduk Amerika Serikat, ia harus bisa merakyat dan berjuang secara gigih sampai akhir hayatnya.

Sikap ini menjadi sebuah perjuangan politik bagi Abraham Lincoln dalam perilaku politiknya, dan ia sendiri telah mampu membuktikannya secara maksimal selama menjadi pemimpin Amerika Serikat.

Sebuah pertanyaan yang mengalir dalam perpolitikan dunia pada umumnya: Entahkah inilah yang disebut sebagai pemimpin yang merakyat?
Sebuah kata kunci yang khas bagi seorang pemimimpin yang merakyat adalah “satunya kata dan perbuatan,” dengan ungkapan khasnya adalah kesesuaian antara bahasa kata-kata dan bahasa perbuatan.

Dua kata dalam prinsip bahasa tersebut sebenarnya harus bisa menyata dalam fakta sosial melalui perilaku politik ( political behavior ) para politisi atau para pemimpin.

Perilaku politik ( political behavior ) tidak lepas dari pelakunya, di mana perilaku politik harus tetap menjadi simpatik bagi banyak orang dalam konteks “satunya kata dan tindakan,” dalam periku politik; Dan inilah yang dinamakan
integritas politik.

Berhadapan dengan kondisi seperti itu, sebuah pertanyaan lebih konkrit: Bagaimana seorang pemimpim ( juga seorang politisi ) mampu mempertahankan integritasnya secara luas dalam konteks kekinian untuk Indonesia?

Bagi saya, pertanyaan kritis dan releban seperti ini sangat penting, dan menjadi pengingat bagi kita semua untuk mengetahuinya secara terang benderang tentang turbulensi politik yang lagi suam-suam kuku menyelinap beroperasi secara samar, di tengah pandemi yang lagi melanda negara kita.

Sebuah pertanyaan guyon ( guyon politik ) dan bisa terselip jawaban besar yang ada di dalamnya yakni: Mau mengatasi wabah pandemi covid 19, sambil berpolitik? Ataukah: Mau berpolitik sambil mengatasi wabah covid 19?

Agar semuanya menjadi jelas dan terang benderang, maka jembatan politik yang perlu dibangun agar bisa dilihat dan dibaca sosoknya secara terbuka dan terang-benderang oleh rakyat Indonesia adalah demokrasi ( dan komunikasi politik ) yang memadai.

=========

Penulis adalah Dosen Universitas Pelita Harapan dan Penulis Buku Referensi Ilmu Politik.

Komentar ANDA?