NTTsatu.com – KUPANG – Tindakan penghinaan yang dilakukan oleh walikota Kupang, Jefri Riwu Kore terhadap Leksi Saluk wartawan harian umum Viktory News dinilai sebagai tindakan premanisme.
Pengurus PIAR NTT, Paul SinlaeloE kepada wartawan, Senin (26/3) menegaskan, kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
“Saya menilai bahwa perbuatan Wali Kota Kupang, Jefri Riwu Kore telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap wartawan Leksi Saluk,” kata Paul.
Dia mengatakan, kekerasan terhadap wartawan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of Human Rights, tepatnya diatur dalam pasal 19 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas”.
Menurut Paul, perbuatan tersebut merupakan tindakan premanisme berupa penganiayaan maupun tindak kekerasan lainnya terhadap media masa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan hukum dan secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Ditambahkannya, ketentuan mengenai adanya perlindungan terhadap wartawan, secara jelas tercantum dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999,, tentang pers, yang selengkapnya berbunyi : Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
” Yang dimaksud adalah jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku,”ujar Paul.
Dijelaskan Paul, dalam Undang-undang No 40 Tahun 1999 Pasal 18 dijelaskan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.
Dalam Pasal 4 Undang-undang No 40 Tahun 1999 ayat (3) dijelaskan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh aparat dengan menghalangi wartawan mendapatkan gambar atau berita merupakan bentuk pelanggaran pasal 4 ayat (3) apalagi dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada wartawan maka seharusnya aparat menindak tegas anggotanya yang terlibat dalam kasus ini karena sesuai dengan ketentuan pidana yang terdapat di dalam UU No. 40 tahun 1999 di dalam pasal 18 ayat (1) yang mengatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. (*/bp)